Kamis, 25 Agustus 2011

Ied Festival

Tulisan kali ini menjawab posting @yuswohady mengenai Lebaran Marketing.

Selama ini kita memandang bulan puasa dengan puncaknya ada di Ramadhan. Fenomena Pegadaian after Ramadhan ini juga menunjukkan bahwa ini merupakan post event, aktivitas yang dilakukan untuk menutupi puncak spending yang terjadi saat lebaran.

Namun, saya berpikir bahwa ini tidak mewakili semua kalangan masyarakat. Contoh yang sederhana, saya tidak menemukan ada diantara teman-teman saya yang mengunjungi Pegadaian after lebaran.

Saya mau share yang saya alami sehubungan dengan marketing lebaran yang Mas Siwo singgung sebelumnya.

Untuk saya, hawa lebaran telah terasa pada 2 minggu sebelum Ramadhan. Munggahan adalah kegiatan menyambut bulan puasa, entah ini bagian dari sunnah atau hanya bagian dari tradisi saja. Jadi, sebelum puasa dimulai, ada aktivitas untuk siap-siap menghadapi puasa. Dulu sih saya diajarkan oleh ibu saya bahwa hari terakhir sebelum puasa itu untuk bersih-bersih. Mulai dari rumah, kamar, bahkan yang terpenting adalah dari diri sendiri, yaitu menjalankan terawih pertama itu dalam keadaan sudah keramas. Bersih luar dalam menyambut bulan suci.

Semakin kemari, aktivitas saya jadi bertambah kompleks dalam rangka munggahan ini. Sebelum Ramadhan datang, saya sempatkan dulu nyalon utk bersih-bersih. Creambath, meni-pedi, potong rambut, sampai luluran untuk meluruhkan kotoran yang menempel. Secara hakikat, itu sih tidak salah. Bersih-bersih diri, dong. Lalu, saya akan menikmati hari-hari terakhir menikmati makanan saat matahari bersinar. Dari situlah, berbagai janjian

Yes, 14 hari sebelum Ramadhan dimulai, satu per satu jadwal janjian bersama teman, mulai dari makan siang hingga ngopi sore dan makan malam, berderet rapi di jadwal saya. Dari mulai teman kantor, teman kuliah, teman arisan, bahkan teman main bilyard. Semuanya ini untuk saya istimewa. Jadi, selama memang saya bisa, saya akan datang.

Karena ini semua menyambut Ramadhan, kostumnya pun saya sesuaikan. Jadi, meski janjian pulang kantor, setidaknya saya akan membawa pashmina supaya lebih berbau Ramadhan. Lama-lama, koleksi pashmina saya menipis. Karena janjian banyak di kafe atau mall, pas banget nih klo sekalian beli shawl atau pashmina.

Lantas tibalah bulan Ramadhan. Seperti kebanyakan dari kita, minggu kedua dan ketiga bulan puasa adalah masa panen raya buka bersama. Sekali lagi urusan kostum juga salah satu yang dipertimbangkan. Eh, kayaknya gak punya sepatu krem deh untuk buka bareng sama gank X. Hmmm, tuh flat shoes hitam itu kayaknya lucu juga buat buka bareng sama teman kantor. So, sebelum lebaran mulai, sudah bertambahlah itu koleksi lemari saya.

Dua minggu menjelang hari raya, tiba masa turun THR sesuai aturan pemerintah. Setelah selesai semua kewajiban anak-anak, para asisten rumah tangga dll, berarti tibalah waktunya menyenangkan diri sendiri. Beli baju lebaran? Tentu saja boleh. Jangan lupa, urusan kendaraan dll yg juga perlu diperhatikan saat perjalanan mudik nanti.

Lanjut lagi, menjelang saat mudik ke Bandung, sudah terpikir daftar tempat yang akan dikunjungi. Apa lagi bila bukan tempat makanan dan fashion. Gak afdhol ke Bandung tanpa menikmati wisata ini.

Nanti balik ke Jakarta sesudah lebaran, selama satu bulan sesudah lebaran, saya sudah siap-siap dengan jadwal halal bi halal bersama teman-teman yang tidak sempat bertemu sebelum & selama Ramadhan.

So, untuk saya, Ied Festival ini bukan hanya soal lebaran. Keriaan ini berlangsung hampir 3 bulan. So, in my marketing point of view, this is the longest festive season compared to other festivity, Chinese New Year, Season's Greeting, School Holiday, which last less than Ied Festival. Then, it would be a waste if marketer don't cater it the right way.

Jumat, 17 Juni 2011

Saya pejalan kaki

Ketika sedang menyusun tulisan mengenai trotoar, kawan baik saya, Yulia 'Iya' Sapthiani, bertanya apakah saya sering jalan kaki di Jakarta. Dia menduga bahwa mengingat kondisi Jakarta yang kurang bersahabat dengan keringat, Iya menduga bahwa saya tidak berjalan kaki di Jakarta.

Dan ternyata dia tidak menyangka bahwa saya masih berjalan kaki cukup jauh dan sering untuk ukuran penduduk Jakarta. Jadi begini kisah saya sebagai pejalan kaki.

Ya, saya adalah pejalan kaki sejati. Ada masanya ketika saya di Bandung, kalau sedang iseng saya jalan dari kampus ke rumah. Ya, Dipati Ukur - Guruminda itu 17 km. Jalan kaki aja gitu. Capek? Haus? Ya, beli aja minum atuh. Dan itu bukan sekali dua kali, sering :).

Di Jakarta, saya tetap menyukai aktivitas berjalan kaki. Saat sharing dengan Iya ini, kantor saya di daerah Thamrin. Saya adalah pengguna rutin jasa kereta api. Jadi, saya suka iseng pulang kantor jalan ke stasiun. Betul, saya jalan melintasi HI dari Thamrin ke arah Stasiun Sudirman. Selain ke stasiun, saya juga sering jalan kaki selepas makan siang dari Plaza Indonesia ke kantor. Rute itu memang ada shuttle bus, tapi saya prefer jalan kaki karena lebih cepat dibanding naik bus atau taksi. Dan aktivitas ini pun membakar kalori karena kalau pulang maksi tuh kan sekitar jam 2 siang (ya, jatah makan siang 1 jam sering exceed :)). Bayangin aja tuh panasnya. Klo mengenai jalan kaki ke stasiun, klo pas lg macet jam 6an sore gitu, senang aja jalan kaki ngeledekin yg terjebak dlm kendaraan. Hehehe.

Ada kejadian tak mengenakkan soal jalan kaki di Jakarta. Satu kali, pernah hampir dirampok waktu jalan ama suami di sekitar Benhil. Kejadian ini sekitar pukul 9 pagi. Sedang berjalan di Sudirman dari arah Benhil ke arah jalan raya. Di rempug 5 orang. Satu pegang kaki laki gw, satu mau ngambil dompet, tiga mengerubuti. Untungnya laki gw sadar dan nendang salah satu dr mereka. Then... wuzzz mereka menghilang dan orang-orang melengos aja.

Alhamdulillah gak ilang apa-apa, cuma sendal aja yg putus :):)Terus kayaknya orang yg lihat cuek aja. Hal lain yang menyebalkan adalah trotoar yg termakan kaki lima. Bukannya against rakyat kecil, tapi mengganggu kenyamanan.

Terus terang saya rada shock jg dengan kejadian di Benhil itu. Karena semenjak lulus kuliah dan ke Jakarta tuh ya saya tinggal di Benhil. Ternyata bahaya mengincar bisa di mana aja, even at the place that we feel home.

Sebenarnya pernah juga punya pengalaman asyik di trotoar. Pernah jajan tahu gejrot sambil lihat sunset di Bundaran HI. Sumpah, enjoyable banget! Rasanya gak kalah dgn nongkrong di warung kopi di Eropa.

So far, menurut saya Sudirman-Thamrin sudah lumayanlah. Indikasinya adalah bisa ngegerek koper dgn enak. Yup, I've tried :):).

Bayanganku trotoar yg asyik adalah spt di Amsterdam. Itu kota termasuk rada kisruh utk ukuran Eropa. Tapi utk modeling Indonesia malah lebih realistis :). Mungkin karena kita kelamaan dijajah kaum mereka dahulu :).

Fyi, Iya cerita bahwa dari penelitian LSM di Phiilipina tentang walkability cities (di 13 kota di Asia), yg dibiayai Asian Development Bank, Indonesia punya ranking terendah. Kalah sama kota-kota di India & Philipina yg juga kisruh. Wah, India lebih walkable daripada Indonesia. Ckckck.

Jika demokrasi suatu negara tercermin dari trotoar, maka menurut logika saya maka pejalan kaki adalah cerminan warga yang demokratis. Right? :)

Entahlah. Yang jelas, saya tidak pernah menahan nafsu makan - kecuali puasa - namun alhamdulillah BMI saya selalu dalam range normal. Paling banter montok doang sih waktu sedang hamil dan menyusui :).

So, proudly present: Saya adalah pejalan kaki!

Minggu, 12 Juni 2011

Kopi Luwak

Beberapa waktu lalu sempat diskusi dengan seorang kawan yang berniat untuk mempopulerkan kopi luwak secara internasional. @VaryanG yang saat ini berada di Inggris punya niat mulia untuk itu.

I wanna share my view about kopi luwak.

I -my self- actually a coffee aficionado. I have any kind of coffee at my house from all around Indonesia. You name it, from Aceh Gayo -also kopi ganja :)- to kopi Wamena, I have it. Every time I had my trip, I always try & bring local coffee for my souvenir. And whenever some one I know had a trip, I always take coffee for the souvenir. In short, can't live without it, it's my drug :).

Lalu soal kopi luwak. At first, I find it really fancy & gaya banget minum kopi spesial seperti itu. Dulu masih susah dapatnya, belum ramai dijual seperti sekarang. Jadi saya tidak pernah punya pasokan/stock kopi luwak, karena memang langka. Klo dapat kiriman dari kawan itu jarang-jarang karena tergantung pas dapatnya saja.

Ternyata kemudian kopi luwak jadi trend banget. Tiba-tiba jadi bertebaran kedai yang menyediakan kopi luwak. Rata-rata ditawarkan 8-12 USD per cangkir atau sekitar Rp 80 ribuan (waktu itu kurs masih di angka Rp 9 ribuan). Terakhir saya pernah cek di Kafe Toraja Pasaraya Grande tuh secangkir kopi luwak di jual seharga Rp 300 ribuan. Wah, ini sih menurut saya udah keterlaluan mahalnya.

Saya jadi penasaran bagaimana bisa kopi luwak yang dulu eksklusif koq sekarang jadi gampang banget. Awalnya saya senang karena jadi gampang didapat. Saya jadi banyak cari tahu. Jadi, kopi luwak sekarang yang berkembang di pasaran iu ada 2 jenis, alami dan ternak. Yang paling banyak adalah yang diternakkan.

Pasti Varyan sudah tahu bahwa distinctive flavor yang dihasilkan oleh kopi luwak adalah dari proses biji kopi yang bereksi dengan enzim pencernaan luwak. Pada awalnya, luwak yang makan kopi ini adalah hanya semacam dessert saja buat mereka. Jadi, luwak itu bukan makanan utama. Habitat asli luwak itu adalah di Sumatera. Seiring dengan berkurangnya hutan, maka ada pergeseran di mana luwak tak lagi memakan kopi sebagai makanan penutup/pemanis dari makanan utamanya. Dengan berubahnya habitat alami mereka, makanan utama mereka jadi berubah dari segi jenis & jumlahnya. Makanan utama berkurang, jadi makanannya jadi ngasal, kadang kala mereka pun jadi banyak makan kopi. Ini yang menyebabkan pasokan kopi luwak alami itu tidak bisa diprediksikan.

Karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka kemudian dikembangbiakkanlah luwak ini. Pada beberapa produsen kopi luwak, saya memperoleh informasi bahwa mereka menangkarkan luwak di peternakan. Jadi, yang tadinya kopi adalah makan penutup atau makanan selingan, luwak dikondisikan untuk menjadikan kopi sebagai makanan utama. Nah, saya membayangkan jika hal tersebut terjadi pada kita. Misalnya kita yang biasa makan nasi/kentang plus daging dengan agar-agar sebagai dessert, tiba-tiba harus menerima kondisi bahwa kita makan agar-agar all the time dengan alasan ada yang mengambil keuntungan ekonomis dari diri kita. Atau jangan terapkan ini pada manusia, coba terapkan ini ke sesama hewan. Saya melihatnya ini seperti mink coat, kemewahan mantel bulu yang dinikmati manusia dengan mengorbankan hewan. Duh, koq saya gak tega, ya :(.

Inilah sebabnya saya kemudian tidak pernah lagi mengkonsumsi kopi luwak. Dengan kondisi bahwa kebanyakan kopi luwak yang beredar itu adalah ternakan, maka itu dihasilkan dari luwak yang telah dikondisikan untuk menjadikan kopi sebagai makanan utamanya. Mungkin saja saya ketemu kopi luwak yang asli, tapi kemungkinannya akan kecil sekali dengan perubahan kondisi alami hutan dll.

So, sehubungan niatan Varyan untuk memperkenalkan kopi luwak ke international market, saya berpikir pasti ada cara lain yang lebih etis untuk menyebarluaskan kekayaan kopi Nusantara. Ini keinginan mulia untuk memajukan usaha kecil dan menengah kita supaya bisa export tidak hanya di bidang handicraft. Tapi mengingat standard di negara barat cukup tinggi sepertinya hanya sedikit produk lokal yang bisa dieksplor lebih dalam dan luas.

Any way, begitulah pendapat saya soal kopi luwak. Silakan bila mau sependapat atau tidak, bebas aja koq :). Untuk saya, masih jawara adalah Kopi Aroma dari Bandung dan Arabica Toraja. Karena kebiasaan ngopi ini, suatu saat pas sedang ke Amsterdam, saya nyari cafe. Saya tanya punya kopi spesial apa? You know what, dia jawab, "Try our new special: Java Arabica!" Hahaha, saya juga dari pulau Jawa euy :).

Senin, 02 Mei 2011

Benarkah semua ingin harga murah?

Baru baca berita hari ini: harga emas turun tapi nilai taksir bank naik. Another info di milis (yes, I still have that milis thing :)): Budget travel, Rp 500 ribu Singapore udah all in. Rp 2 juta keliling Thai-Mal-Sing. Wow, saya sulit membayangkan berbekal 2 juta rupiah bisa hidup beberapa hari, bahkan minggu, di negeri orang. What kind of life they're living?

Klaim-nya memang luar biasa: Rp 2 juta untuk keliling 10 hari, 10 kota. Ok, kita pakai logika sederhana. Ini berarti satu kota per hari sudah termasuk perjalanan. Apakah sempat untuk menikmati keunikan dari tiap kota tersebut? Apakah sempat untuk mempelajari budaya dari masyarakatnya? Apakah bisa memaknai kebijaksanaan dari tiap istiadatnya?

Ok, untuk contoh di atas, bisa jadi bias karena saya lebih tertarik wisata alam & budaya Nusantara daripada sekedar gempita tempat judi atau taman ria negeri tetangga. Mungkin banyak yang seiman dengan saya soal ini, sebaliknya pula mungkin tak terlalu banyak manusia Indonesia yang terlibat ketika berbicara soal wisata manca.

Ambil contoh lain, telekomunikasi. Berdasarkan data yang saya baca, akhir 2010 menunjukkan bahwa kepemilikan hand phone di Indonesia adalah 50%. Yup, hampir seperdelapan milyar orang Indonesia punya hand phone (hitung sendiri deh tuh!). Artinya, soal telekomunikasi adalah hajat hidup orang banyak. Last time I checked, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diatur penyelenggaraannya oleh negara. Ini artinya tidak sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.

Teringat 10 tahun lalu ketika memutuskan hijrah ke Jakarta. Waktu itu telepon seluler lintas daerah masih roaming. Yup, saya yang terdaftar di Bandung harus dikenakan biaya cuma untuk terima telepon di Jakarta. Atas pertimbangan bahwa aktivitas akan terpusat di Jakarta, maka konsekuensi logisnya adalah saya membeli nomor baru yang cocok untuk Jakarta. Pilihan jatuh pada nomor keluaran operator itu. Mahal, tapi kualitasnya ok banget. Bening. Klaim itu sesuai dengan kualitas layanan yang saya nikmati saat itu.

Lantas terjadilah pertempuran seru di dunia telco Indonesia. Saling murah-murahan yang katanya memberikan keuntungan bagi konsumen. Menelepon bahkan bisa gratis untuk nomor di operator yang sama, bahkan di saat-saat tertentu, nelpon tengah malam sampe kuping pengang tak dikenakan biaya sedikit pun.

Saat itu saya ingat bahwa saya harus menelepon pada pukul 1 dini hari. Tentu saja ini urusan darurat karena tak akan saya menelepon orang tua saya di waktu seperti ini bila dalam keadaan normal. Yang kemudian terjadi adalah luar biasa sulit tersambung karena traffic saat itu sedang penuh akibat program nelpon gratisan operator itu. Keparat!

Kejengkelan ini ternyata tak kunjung reda hingga sekarang. Saat ini, bukan hal yang aneh jika saya tak bisa mengubungi dan dihubungi di ponsel saya. Signal error, jaringan rusak, atau entahlah istilah apa pun yang digunakan. Memang biaya telepon selular saat ini relatif sangat murah dibandingkan beberapa tahun lalu. Soal kualitas? Saya harus mengatakan bahwa meski mahal, saya lebih puas ketika operator saya ini masih campaign dengan keyword "Bening".

Lantas apakah makna murah itu sebenarnya? Apa makna telekomunikasi itu sesungguhnya? Apa makna wisata itu seutuhnya? Sulit ditemukan pada era serba murah seperti sekarang.

Atas manfaat yang telah dirasakan oleh banyak orang (= konsumen yang makin banyak), saya tak menentangnya. Toh ini adalah bisnis semata-mata.

Ok, saya bukan orang kaya. Beli rumah aja ngutang koq :). Namun jangan lupa, tak semua konsumen peduli semata-mata harga. Ada kelompok tertentu yang dapat berkompromi dengan harga yang lebih tinggi selama sepadan dengan kualitas yang dinikmati.

To government, due to The Constitution, even the amended version, you still need to take care seriously on what's concerning people's interest. To capitalist, you still have another market to serve prior to quality.

Please do manage our expectation.

Senin, 25 April 2011

Sepasang kaki dan puluhan pasang sepatu

Urusan sepatu pernah jadi nazar tahun baru saya tahun lalu. Dan terpenuhi selama tahun 2010 ini. Well, meski sekarang 2011 sudah lewat 4 bulan, tapi tetap ada hikmahnya mengingat kembali soal nazar ini.

Sebenarnya, nazar - atau yang belakangan tahun ini dikenal juga sebagai resolusi tahun baru - saya ini sederhana saja. Begitu waktu menapaki Januari 2010, saya berjanji untuk tidak membeli sepatu kecuali karena sehubungan dengan Lebaran yang memang merupakan momen istimewa. Untuk banyak orang, ini hal yang picisan. Tapi untuk wanita, saya berani bertaruh bahwa ini punya tantangan sendiri yang luar biasa.

Bukan tanpa alasan bahwa sepatu merupakan salah satu obsesi wanita. Dari mulai yang dipakai sehari-hari sampai yang urusan pesta. Yang sehari-hari pun ada yang dipakai di hari kerja dan ada yang dipakai di weekend. Yang untuk pesta, ada yang untuk pesta resmi dengan padanan adi busana, ada juga yang untuk pesta santai di kebun bersama kerabat. Itu baru soal occasion. Belum lagi soal warna.

So, if I had to admit, before 2010, saya punya sepatu hampir 40 pasang. Memang belum sekelas Imelda Marcos, tapi yup, 40! Kapan saya beli? Kebanyakan saya tak ingat karena urusan sepatu yang spesial ini jadi tidak terlalu istimewa karena menjadi terlalu biasa. Dari 40 pasang ini, berapa yang saya pakai? Ternyata tidak lebih dari 7 pasang saja. Eh, ternyata itu pun cukup untuk ganti setiap hari 'kan?

Urusan sepatu ini membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa musuh terbesar yang harus dihadapi adalah hawa nafsu kita sendiri. Ya, nafsu yang membuat saya terbutakan bahwa seandainya saya lebih bisa menahan diri sejak dulu, uang yang saya hamburkan untuk sepatu itu bisa untuk membantu saudara kita.

Hasilnya? Selama 2010 hanya beli 4 pasang sepatu saja. Total yang tersisa di rumah pun tak lebih dari 10 pasang karena sepatu yang jarang saya pakai namun masih layak, saya sumbangkan kepada mereka yang lebih membutuhkannya. Sepatu yang saya beli pun jadi lebih berkualitas karena 2 pasang dibeli saat lebaran, sepatu & sendal, dan 2 pasang lagi beli di Eropa. Yang beli waktu lebaran, sebenarnya niat beli 1 pasang saja. Tapi sendal yang saya pake koq ya copot pas lagi jalan di mall. Lha, copot koq milih tempat? Not bad lah :).

Untuk yang berkecimpung pada bidang pemasaran dengan target wanita, musti lebih cerdik untuk kelompok wanita seperti saya. Bukan apa-apa, I'm not too feminin. Even my Brain Wiring Test is scored 70, way below what-so-called normal level of 180.

So, urusan puasa sepatu ini bukan hanya masalah mengirit pos belanja. Namun lebih dari itu, pengendalian diri. Toh, gak punya sepatu pink gak sampe mati kan ;)

Rabu, 13 April 2011

Hasta Brata: Pemimpin Bijak Selaras Alam

Di antara banyak teori modern barat tentang kepemimpinan, ternyata secara tradisional pun kita memiliki prinsip dasar leadership. Dikisahkan dalam berbagai cerita wayang, seseorang barulah dikatakan pemimpin bila memiliki sifat yang mencerminkan 8 unsur. Hasta Brata.

1. Surya > matahari. Menyinari, memberi semangat tumbuh.
2. Chandra > bulan. Membangkitkan harapan saat tertimpa kesulitan.
3. Kartika > bintang. Menjadi teladan, memberi pedoman.
4. Langit > angkasa. Memiliki keluasan bathin, mampu mengendalikan diri.
5. Dahana > api. Menegakkan kebenaran dengan tegas, wibawa.
6. Maruta > angin. Mengisi kehidupan, dekat dengan siapa pun.
7. Banyu > air. Menempatkan diri dengan adil, sejuk, menyegarkan.
8. Bumi > tanah. Menghargai jerih payah, memberi hasil pada yang tekun.

Istimewalah yang mencapai Hasta Brata itu. Bukan cuma pemimpin, tapi telah melampaui. Meta leader.

Semuanya ada di alam. Mulia, tetapi tak mudah. jadikan saja itu sebagai doá. Sebaik-baiknya doá adalah yang sering diucapkan. Maka, anak-anakku namanya diambil dari Hasta Brata.

2 anak saja, Langit & Banyu. Repot klo musti 8 :).

Jumat, 25 Maret 2011

RBT - Berkah atau musibah

Untuk yang besar di Bandung selama tahun '90-2000an, pasti punya romansa dengan Aquarius Dago. Kayaknya sih gak ada ABG yang luput JJS di seputaran area gaul internasional ini. Tapi tahun lalu, gw kaget sekaligus sedih mana kala mendengar Aquarius Dago tutup. Ternyata, ini pun disusul dengan sale di Aquarius Pondok Indah yang tak lama kemudian nasibnya pun serupa.

Jika tidak salah, toko kaset legendaris ini berdiri 1995. Jadi, umurnya hanya sekitar 15 tahun saja. Dan sepertinya, ini pasti ada hubungannya dengan banyaknya perusahaan rekaman kaset yang bangkrut.

Dahulu, sering sekali kita mendengar artis rekaman mendapat bonus mobil bahkan rumah dari jutaan kopi kaset yang berhasil terjual. Ini di luar penghasilan off air tentunya. Makin kemari, meski saya bukan pengamat musik terkenal, saya bisa pastikan angka itu pasti turun. Gak usah jauh-jauh, indikatornya lingkungan dekat kita sendiri saja. Berapa banyak diantara kita yang masih membeli rekaman musik berupa CD apalagi kaset? Well, saya dan suami sepertinya merupakan anomali dalam hal ini :).

Maksud saya, era kejayaan rekaman musik telah lewat. Setidaknya ada dua hal pokok yang menyebabkannya. Pertama, pembajakan yang lebih meraja lela dari luas sawah di negeri ini. Kedua, unduhan lagu gratis di internet yang begitu marak. Ingat kasus Napster, dong. Meski sempat ribut, tapi unduh-mengunduh lagu memang makin meruntuhkan masa kejayaan artis rekaman. Digitalisasi musik malah makin ramai dan tak terbendung. Psssttt..... saya juga mengunduh Degung Sunda dan Benyamin S koq :).

Ternyata, terjadi shifting dari rekaman ke medium lain. Era digital benar-benar telah mengubah wajah industri musik, setidaknya di Indonesia. Gampang banget mengunduh lagu dan media player-nya pun makin beragam dan makin personal. Yup, we listen to our favourite songs by cell phone, iPod (gw gak punya lho), atau mp3 player. Entah akan ada media apa lagi yang terus berkembang.

Makin personalized-nya budaya mendengarkan musik rupanya juga membuka sebuah jalan tersendiri bagi industri musik. RBT - Ring Back Tone atau NSP – Nada sambung Pribadi. Terserah deh, istilahnya apa, tapi menurut gw ini rada gila. Kita membayar sejumlah uang tertentu selama kurun waktu tertentu untuk satu lagu tertentu untuk menjamu orang lain yang menelepon kita.

Hey, emangnya orang tuh nelepon kita mau dengerin lagu gitu? Gak kaleee.... Tapi, RBT sekarang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan seseorang yang mencari nafkah dengan musik. Tentu saja karena penjualan rekaman sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Tapi, yaitu dia anehnya. Pertama, kita nelpon mau ngobrol ama orang 'kan bukan mau denger lagu. Kelamaan gak dijawab telpon juga BT. Kedua, kita yang punya telpon yang disuruh bayar. Klo gak salah sih sekitar Rp 7-10 ribuan per lagu per bulan. Klo mau ganti sebelum satu bulan, ya bayar lagi dengan angka bulanan itu. Ketiga, ini yang paling konyol: kita bayar, tapi yang dengerin lagu tuh justru orang lain. Ya ampyun!

Gak tahu angka pastinya berapa untuk perolehan uang dari bisnis RBT ini (saya bukan orang Telco, swear!), tapi pasti gede. Buktinya tiap ada penyanyi baru yang menawarkan albumnya, pasti dilengkapi dengan promo kode RBT-nya. Nah, ngapain dipromosikan klo gak mendatangkan duit. Gitu aja simpel-nya.

Balik lagi soal RBT, menurutku setidaknya tiga alasan yang membuat pengguna selpon menggunakan RBT. Pertama, - ya, anggap aja ini kuliah. Gw emang pengen jadi dosen :) - I represent my self by this song. Self declaration gitu kali, ya. Kedua, untuk yang lagi galau, ini adalah cara untuk menjelaskan keadaan dirinya. Entah dia tuh introvert yang susah mengungkapkan kondisi diri atau memang sengaja biar ditanya kenapa milih lagu ini atau lagu itu. Jadi, menurutku RBT ini semacam bentuk ekspresi diri secara audio gitu, deh.

So, masalah berikutnya adalah soal kepuasan. Menurutku, jelas ada masalah ketika kita membayar untuk mendengarkan sebuah lagu, yang cukup mahal untuk satu lagu (bandingkan dengan harga kaset atau CD yang berisi 10 lagu dengan harga per copy hanya 3-10 kali dari harga per RBT) yang kita bayar untuk didengarkan orang lain, dan dalam keadaan lagu itu tidak utuh. Apa enak dengar lagu gak komplet begitu? Itung-itungan banget ya gw? Eh, berarti gw sekian tahun kerja di bank itu ada gunanya ;).

Jadi, RBT itu berkah atau justru musibah sih untuk musisi?

Dari hasil merenung & membaca,- ingat, ayat pertama adalah Iqra! - kira-kira ini beberapa positifnya RBT:
- Menyelamatkan dapur musisi yang sempat kurang berasap karena pembajakan
- Jadi sarana promo tersendiri, selain rekaman, yang efek dominonya bisa ke iklan, off air, dll.
- Bikin kaya mendadak. Katanya sih Alm. Mbah Surip meninggalkan warisan milyaran dari RBT
- Quick win untuk band baru
- Gak bisa dibajak kayak kaset atau CD. RBT memang bisa di-copy, tapi justru di-encourage oleh operator juga karena yg copy ujungnya jadi user juga

Tapi gw juga gak sepenuhnya gw setuju dengan RBT:
- Ngerusak keutuhan lagu. Dengerin lagu sepotong tuh kena tapi tanggung tahuuuu :)
- Siapa yang pernah denger RBT clear kayak mutar di CD atau kaset? Well, sepanjang yang gw denger, RBT tuh pasti kresek-kresek gak jelas gitu
- Karena orientasinya quick win, kualitas musisi ini ini dipertanyakan. Dulu musisi itu butuh waktu lama untuk membuat dirinya terkenal. Mentalnya pun bisa teruji dari sini. Dari sisi brand, tentu saja usaha konsisten membangun brand yang tahan lama tak bisa dibandingkan dengan aktivitas semata-mata sales sesaat. Poin ini rada panjang karena yang ini gw lebih ngerti lah dikit :)

Eh, satu lagi. Yang dibikin kaya tuh siapa? Musisinya 'kah? Label-nya kah? Content provider-nya kah? Atau operator-nya?

So, untuk yang mau terjun ke industri musik dan dihadapkan pada pilihan mau kontrak 3 album atau genjot single RBT, think and re-think. Jangan kelamaan mikirnya karena kesempatan bisa lewat. Kalo udah ngambil keputusan, segera action & konsisten.

Selamat berjuang. Allahu akbar!

P.s. jangan kirim gw bom buku, ya.

Senin, 21 Maret 2011

Ma Icih Sang Teroris 2

Ma Icih.

Ini merupakan evolusi dari kurupuk gurilem. Snack kampung dengan nilai gizi yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan, namun memiliki kelezatan yang tiada tara. Enak banget? Hmmmm.... mungkin juga gak sih, cuma gak sempat merenungi karena terlenakan oleh pedasnya. Orgasmic delicious. Ok, yang ini lebay :).

Ma Icih ini sama aja sebenarnya dengan gurilem pedas yang sudah kita kenal sejak dulu. Hanya saja pedasnya di tambah (mungkin seperti Ramen San PAchi) gitu dan jaman sekarang pake brand & experience-nya di-share online & offline.

Kabarnya, untuk memperoleh sebungkus Ma Icih ini, antreannya menggila di Bandung.

Ma Icih bikin kurus? Most likely yes, karena mencret. Tentu saja tergantung level of tolerance setiap orang yang berbeda-beda :)

Kamis, 17 Maret 2011

Ma Icih Sang Teroris

Ma Icih.

Apakah dia cenayang atau optimalisator fungsi reproduksi pejantan? Bukan, Saudara-saudara.

Belakangan ini, Ma Icih lagi tenar banget sebagai salah satu oleh-oleh asal Bandung. Meski tidak substitusi, namun kehadirannya melengkapi teman-temannya yang duluan tenar ditenteng keluar Bandung oleh Homo Jakartaensis: pismol Kartika Sari, bronkus Amanda, batagor Riri, dll.

Secara substansi, Ma Icih itu adalah keripik pedas aja gitu. Dia adalah salah satu jenis makanan yang bikin ketagihan. Bukan tidak mungkin ia mengandung zat adiktif.

Soal gizi? Sangat diragukan. Tapi ini barang kampung yang menyerbu kota, terutama Jakarta - karena lebih dari 40% visitor Bandung adalah dari Jakarta-, punya efek merem-melek yang luar biasa. Banyak orang nangis bahkan tobat ketika mengkonsumsinya.

Sebentar....

Koq terdengar seperti teroris, ya? Dibuat di kampung -atau kota yang lebih kecil dari Jakarta- lalu masuk ke Jakarta dengan memberikan efek nangis, merem melek, dan ketagihan karena tidak cukup satu.

Jadi, Sang Teroris itu adalah Ma Icih. Demikianlah pengamatan saya atas aksi teror hari-hari terakhir ini di Jakarta.

Sekian.

Senin, 07 Maret 2011

Yang penting Anak Saya

Tulisan lama dari tahun 2006.

Yang Penting sih, Anak Saya

Saya terhenyak membaca tulisan Citra Satrya di Koran Sindo 30/8/06. Soal nonton film yang seharusnya jadi acara penghiburan (entertainment) koq malah jadi sesuatu yang menyeramkan. Pedofilia seolah seperti penyakit flu yang siap menyerang siapa saja di mana saja. Hih, takut!
Saya jadi berangan-angan jika saya punya anak. Saya akan persilakan anak saya untuk menikmati hidup dan dirinya sebagai manusia yang utuh.
Setiap anak memiliki takdir dan garis hidupnya sendiri. Lha, wong anak-anak lahir pun caranya berbeda. Ada yang lahir secara apa adanya, ada pula yang lahir ada apanya. Maksudnya, ada yang lahir normal, ada yang lahir terlalu cepat, atau bahkan ada yang lahir terlalu lama. Ada yang lahir dengan budget bersahabat, ada pula yang lahir dengan budget biadab. Menurut cerita ibu saya, saya adalah anak yang terlahir secara tidak sabaran. Seharusnya saya bersedia menahan diri untuk melihat dunia sampai becak yang ditumpangi ibu saya saat itu tiba di rumah sakit. Tapi, apa daya. Dasar tidak sabaran, saya malah memberanikan diri untuk lahir ke dunia dalam keadaan on the way ke rumah sakit.
Sebagai seorang ibu, apa pun akan dilakukan untuk kebahagiaan anaknya. Termasuk ketika saya memilih untuk meninggalkan nyamannya rumah dan memulai hidup sebagai seorang perantau. Saya kemudian jadi anak yang pada bulan-bulan awal perantauan masih minta tambahan uang pada ibu saya untuk sekedar menambah uang kos. Saya kemudian memilih untuk nekad menjadi apa yang saya sebut sebagai ‘budak kapitalis’.
Kalau saya suatu saat jadi ibu, saya akan memilih untuk sehebat ibu saya dalam merelakan anaknya ingin jadi apa. Jika nanti anak saya memilih untuk menjadi budak kapitalis juga seperti saya, silakan. Atau jika anak saya memilih untuk jadi pendidik seperti Pak Johannes Surya, ya silakan juga.

Pemain Film
Nah, jika suatu saat saya punya anak dan dia memilih menjadi pemain fillm seperti Rachel Amanda, ya nggak apa-apa juga. Menghadiri undangan Bang Jerry (Jeremias Nyangoen) menengok shooting “I Love You, Om” di Rumah Susun Benhil beberapa bulan lalu, saya terpesona oleh penampilan Amanda. Menggemaskan. Kalau kata anak muda sekarang, lucu banget. Amanda tidak canggung berhadapan dengan Ira Wibowo. Justru dia canggung ketika berhadapan dengan Restu Sinaga. Canggung dalam arti sebenar-benarnya canggung anak ABG menghadapi seorang om ganteng dan memesona. Saya jadi merefleksikan pada diri sendiri bagaimana jika saya menghadapi om seganteng dan sememesona itu. Pasti saya secanggung Amanda juga. Luar biasa Amanda! Dia mampu menerjemahkan kegalauan saya.
Lalu saya berpikir kalau saya yang menjadi pemain film seperti Amanda. Bisakah saya sebaik dia? Dalam tataran peran, ada tiga tahapan yang membedakan kualitas peran seseorang. Ketiga tahap itu adalah pretending, acting, dan being.
Ketiga tahap ini sebenarnya sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bermaksud menyinggung siapa pun, seorang budak kapitalis dengan penghasilan seadanya seperti saya dan Anda sering kali pretending to be the have. Buktinya adalah membeli sepasang sepatu bermerek terkenal dengan pertolongan kartu kredit. Atau, tiba-tiba saja saya bisa terlihat sangat serius bekerja di depan monitor padahal permainan seru lah yang sedang saya tekuni. Hahaha, saya bisanya cuma pretending.
Lain dengan Al Pacino. He has reached the stage of being. Saking hebatnya dia, bukan hanya saya, banyak orang hapal beberapa cuplikan dialog dalam The Godfather. Kalau anak saya nanti ingin jadi seperti Al Pacino, ya nggak apa-apa juga.


Film, lahan, dan iklimnya
Al Pacino bisa menjadi seperti itu dengan berbagai kemudahan yang dinikmatinya. Ibarat sebutir benih unggulan, Al Pacino tumbuh di atas tanah yang subur, berair cukup, sinar matahari tidak kurang, dan petani telaten yang merawatnya. Sebagai seorang pelaku, Al Pacino bermain dalam film yang diproduksi oleh Holywood yang kemudian menjadi komoditi yang laku dijual dalam sebuah mega industri ke seluruh dunia. Film Amerika menjadi raja di negerinya dan dengan mudahnya diterima pula di negeri lain.
Film Indonesia? Waduh, hanya ingin sekedar ditonton saja sudah memerlukan perjuangan yang luar biasa. Penghasil film Indonesia itu banyak, tapi jalur distribusinya sedikit. Sebagai sebuah industri, logikanya jika produsen banyak, maka ada berbagai pilihan distribusi hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen. Yang saya tak habis pikir adalah mengapa peredaran film Indonesia koq jalur distribusinya terbatas, ya?
Jika nanti anak saya ingin jadi distributor film, saya akan dengan senang hati mempersilakannya. Nonton film itu ’kan nikmat. Jadi, jika anak saya jadi distributor film yang sukses, maka anak saya akan memiliki andil dalam menebar kenikmatan pada masyarakat lainnya.
Nah, kalau tiba-tiba anak saya ingin jadi birokrat, saya agak bingung. Saya terlampau optimis dengan pemerintah Indonesia saat ini sehingga jadinya saya sering kali harus menurunkan tingkat harapan saya itu. Contohnya, ya soal distribusi film itu tadi. Menurut logika saya yang sederhana, pemerintah adalah kelompok konsumen yang dapat menjadi sasaran pasar alias penikmat film. Dengan demikian, sepatutnya ada jalur distribusi khusus yang menyentuh target market ini. Tapi melihat gelagatnya sekarang, jangan-jangan pemerintah kita belum pernah menonton film Indonesia.
Kembali lagi pada persoalan anak saya, rupanya saya harus konsisten dengan kebijakan saya bahwa saya akan mempersilakan dia menjadi apa yang dia inginkan. Termasuk jika dia ingin jadi birokrat. Saya akan berdoa agar dia menjadi birokrat yang punya hobi menonton film Indonesia. Langkah pertama yang akan saya lakukan adalah saya akan mengajak anak saya menonton film “I Love You, Om” supaya dia belajar mengenai kepiawaian Ira Wibowo, Restu Sinaga, dan tentu saja Rachel Amanda. Jadi, jika suatu saat anak saya canggung menghadapi seorang om ganteng dan memesona dalam kehidupannya, ya biarkan saja. Canggung itu mengahadapi sesuatu di luar kuasa diri itu wajar. Yang tidak wajar adalah yang seharusnya mampu mengendalikan distribusi film di Indonesia namun malah tidak pernah nonton film Indonesia.
Saya tidak bermaksud mengusik kehidupan atau anak siapa pun. Jadi, jangan ada yang tersinggung, ya. Yang penting untuk saya adalah anak saya. Saya akan persilakan dia menjadi apa pun yang dia kehendaki, termasuk bila dia harus jatuh cinta pada seorang om, asalkan om itu minimum sekelas Restu Sinaga. Kalau kata Al Pacino, ”I make you an offer you can not resist”.

*** Ike Noorhayati Hamdan