Jumat, 25 Maret 2011

RBT - Berkah atau musibah

Untuk yang besar di Bandung selama tahun '90-2000an, pasti punya romansa dengan Aquarius Dago. Kayaknya sih gak ada ABG yang luput JJS di seputaran area gaul internasional ini. Tapi tahun lalu, gw kaget sekaligus sedih mana kala mendengar Aquarius Dago tutup. Ternyata, ini pun disusul dengan sale di Aquarius Pondok Indah yang tak lama kemudian nasibnya pun serupa.

Jika tidak salah, toko kaset legendaris ini berdiri 1995. Jadi, umurnya hanya sekitar 15 tahun saja. Dan sepertinya, ini pasti ada hubungannya dengan banyaknya perusahaan rekaman kaset yang bangkrut.

Dahulu, sering sekali kita mendengar artis rekaman mendapat bonus mobil bahkan rumah dari jutaan kopi kaset yang berhasil terjual. Ini di luar penghasilan off air tentunya. Makin kemari, meski saya bukan pengamat musik terkenal, saya bisa pastikan angka itu pasti turun. Gak usah jauh-jauh, indikatornya lingkungan dekat kita sendiri saja. Berapa banyak diantara kita yang masih membeli rekaman musik berupa CD apalagi kaset? Well, saya dan suami sepertinya merupakan anomali dalam hal ini :).

Maksud saya, era kejayaan rekaman musik telah lewat. Setidaknya ada dua hal pokok yang menyebabkannya. Pertama, pembajakan yang lebih meraja lela dari luas sawah di negeri ini. Kedua, unduhan lagu gratis di internet yang begitu marak. Ingat kasus Napster, dong. Meski sempat ribut, tapi unduh-mengunduh lagu memang makin meruntuhkan masa kejayaan artis rekaman. Digitalisasi musik malah makin ramai dan tak terbendung. Psssttt..... saya juga mengunduh Degung Sunda dan Benyamin S koq :).

Ternyata, terjadi shifting dari rekaman ke medium lain. Era digital benar-benar telah mengubah wajah industri musik, setidaknya di Indonesia. Gampang banget mengunduh lagu dan media player-nya pun makin beragam dan makin personal. Yup, we listen to our favourite songs by cell phone, iPod (gw gak punya lho), atau mp3 player. Entah akan ada media apa lagi yang terus berkembang.

Makin personalized-nya budaya mendengarkan musik rupanya juga membuka sebuah jalan tersendiri bagi industri musik. RBT - Ring Back Tone atau NSP – Nada sambung Pribadi. Terserah deh, istilahnya apa, tapi menurut gw ini rada gila. Kita membayar sejumlah uang tertentu selama kurun waktu tertentu untuk satu lagu tertentu untuk menjamu orang lain yang menelepon kita.

Hey, emangnya orang tuh nelepon kita mau dengerin lagu gitu? Gak kaleee.... Tapi, RBT sekarang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan seseorang yang mencari nafkah dengan musik. Tentu saja karena penjualan rekaman sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Tapi, yaitu dia anehnya. Pertama, kita nelpon mau ngobrol ama orang 'kan bukan mau denger lagu. Kelamaan gak dijawab telpon juga BT. Kedua, kita yang punya telpon yang disuruh bayar. Klo gak salah sih sekitar Rp 7-10 ribuan per lagu per bulan. Klo mau ganti sebelum satu bulan, ya bayar lagi dengan angka bulanan itu. Ketiga, ini yang paling konyol: kita bayar, tapi yang dengerin lagu tuh justru orang lain. Ya ampyun!

Gak tahu angka pastinya berapa untuk perolehan uang dari bisnis RBT ini (saya bukan orang Telco, swear!), tapi pasti gede. Buktinya tiap ada penyanyi baru yang menawarkan albumnya, pasti dilengkapi dengan promo kode RBT-nya. Nah, ngapain dipromosikan klo gak mendatangkan duit. Gitu aja simpel-nya.

Balik lagi soal RBT, menurutku setidaknya tiga alasan yang membuat pengguna selpon menggunakan RBT. Pertama, - ya, anggap aja ini kuliah. Gw emang pengen jadi dosen :) - I represent my self by this song. Self declaration gitu kali, ya. Kedua, untuk yang lagi galau, ini adalah cara untuk menjelaskan keadaan dirinya. Entah dia tuh introvert yang susah mengungkapkan kondisi diri atau memang sengaja biar ditanya kenapa milih lagu ini atau lagu itu. Jadi, menurutku RBT ini semacam bentuk ekspresi diri secara audio gitu, deh.

So, masalah berikutnya adalah soal kepuasan. Menurutku, jelas ada masalah ketika kita membayar untuk mendengarkan sebuah lagu, yang cukup mahal untuk satu lagu (bandingkan dengan harga kaset atau CD yang berisi 10 lagu dengan harga per copy hanya 3-10 kali dari harga per RBT) yang kita bayar untuk didengarkan orang lain, dan dalam keadaan lagu itu tidak utuh. Apa enak dengar lagu gak komplet begitu? Itung-itungan banget ya gw? Eh, berarti gw sekian tahun kerja di bank itu ada gunanya ;).

Jadi, RBT itu berkah atau justru musibah sih untuk musisi?

Dari hasil merenung & membaca,- ingat, ayat pertama adalah Iqra! - kira-kira ini beberapa positifnya RBT:
- Menyelamatkan dapur musisi yang sempat kurang berasap karena pembajakan
- Jadi sarana promo tersendiri, selain rekaman, yang efek dominonya bisa ke iklan, off air, dll.
- Bikin kaya mendadak. Katanya sih Alm. Mbah Surip meninggalkan warisan milyaran dari RBT
- Quick win untuk band baru
- Gak bisa dibajak kayak kaset atau CD. RBT memang bisa di-copy, tapi justru di-encourage oleh operator juga karena yg copy ujungnya jadi user juga

Tapi gw juga gak sepenuhnya gw setuju dengan RBT:
- Ngerusak keutuhan lagu. Dengerin lagu sepotong tuh kena tapi tanggung tahuuuu :)
- Siapa yang pernah denger RBT clear kayak mutar di CD atau kaset? Well, sepanjang yang gw denger, RBT tuh pasti kresek-kresek gak jelas gitu
- Karena orientasinya quick win, kualitas musisi ini ini dipertanyakan. Dulu musisi itu butuh waktu lama untuk membuat dirinya terkenal. Mentalnya pun bisa teruji dari sini. Dari sisi brand, tentu saja usaha konsisten membangun brand yang tahan lama tak bisa dibandingkan dengan aktivitas semata-mata sales sesaat. Poin ini rada panjang karena yang ini gw lebih ngerti lah dikit :)

Eh, satu lagi. Yang dibikin kaya tuh siapa? Musisinya 'kah? Label-nya kah? Content provider-nya kah? Atau operator-nya?

So, untuk yang mau terjun ke industri musik dan dihadapkan pada pilihan mau kontrak 3 album atau genjot single RBT, think and re-think. Jangan kelamaan mikirnya karena kesempatan bisa lewat. Kalo udah ngambil keputusan, segera action & konsisten.

Selamat berjuang. Allahu akbar!

P.s. jangan kirim gw bom buku, ya.

Senin, 21 Maret 2011

Ma Icih Sang Teroris 2

Ma Icih.

Ini merupakan evolusi dari kurupuk gurilem. Snack kampung dengan nilai gizi yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan, namun memiliki kelezatan yang tiada tara. Enak banget? Hmmmm.... mungkin juga gak sih, cuma gak sempat merenungi karena terlenakan oleh pedasnya. Orgasmic delicious. Ok, yang ini lebay :).

Ma Icih ini sama aja sebenarnya dengan gurilem pedas yang sudah kita kenal sejak dulu. Hanya saja pedasnya di tambah (mungkin seperti Ramen San PAchi) gitu dan jaman sekarang pake brand & experience-nya di-share online & offline.

Kabarnya, untuk memperoleh sebungkus Ma Icih ini, antreannya menggila di Bandung.

Ma Icih bikin kurus? Most likely yes, karena mencret. Tentu saja tergantung level of tolerance setiap orang yang berbeda-beda :)

Kamis, 17 Maret 2011

Ma Icih Sang Teroris

Ma Icih.

Apakah dia cenayang atau optimalisator fungsi reproduksi pejantan? Bukan, Saudara-saudara.

Belakangan ini, Ma Icih lagi tenar banget sebagai salah satu oleh-oleh asal Bandung. Meski tidak substitusi, namun kehadirannya melengkapi teman-temannya yang duluan tenar ditenteng keluar Bandung oleh Homo Jakartaensis: pismol Kartika Sari, bronkus Amanda, batagor Riri, dll.

Secara substansi, Ma Icih itu adalah keripik pedas aja gitu. Dia adalah salah satu jenis makanan yang bikin ketagihan. Bukan tidak mungkin ia mengandung zat adiktif.

Soal gizi? Sangat diragukan. Tapi ini barang kampung yang menyerbu kota, terutama Jakarta - karena lebih dari 40% visitor Bandung adalah dari Jakarta-, punya efek merem-melek yang luar biasa. Banyak orang nangis bahkan tobat ketika mengkonsumsinya.

Sebentar....

Koq terdengar seperti teroris, ya? Dibuat di kampung -atau kota yang lebih kecil dari Jakarta- lalu masuk ke Jakarta dengan memberikan efek nangis, merem melek, dan ketagihan karena tidak cukup satu.

Jadi, Sang Teroris itu adalah Ma Icih. Demikianlah pengamatan saya atas aksi teror hari-hari terakhir ini di Jakarta.

Sekian.

Senin, 07 Maret 2011

Yang penting Anak Saya

Tulisan lama dari tahun 2006.

Yang Penting sih, Anak Saya

Saya terhenyak membaca tulisan Citra Satrya di Koran Sindo 30/8/06. Soal nonton film yang seharusnya jadi acara penghiburan (entertainment) koq malah jadi sesuatu yang menyeramkan. Pedofilia seolah seperti penyakit flu yang siap menyerang siapa saja di mana saja. Hih, takut!
Saya jadi berangan-angan jika saya punya anak. Saya akan persilakan anak saya untuk menikmati hidup dan dirinya sebagai manusia yang utuh.
Setiap anak memiliki takdir dan garis hidupnya sendiri. Lha, wong anak-anak lahir pun caranya berbeda. Ada yang lahir secara apa adanya, ada pula yang lahir ada apanya. Maksudnya, ada yang lahir normal, ada yang lahir terlalu cepat, atau bahkan ada yang lahir terlalu lama. Ada yang lahir dengan budget bersahabat, ada pula yang lahir dengan budget biadab. Menurut cerita ibu saya, saya adalah anak yang terlahir secara tidak sabaran. Seharusnya saya bersedia menahan diri untuk melihat dunia sampai becak yang ditumpangi ibu saya saat itu tiba di rumah sakit. Tapi, apa daya. Dasar tidak sabaran, saya malah memberanikan diri untuk lahir ke dunia dalam keadaan on the way ke rumah sakit.
Sebagai seorang ibu, apa pun akan dilakukan untuk kebahagiaan anaknya. Termasuk ketika saya memilih untuk meninggalkan nyamannya rumah dan memulai hidup sebagai seorang perantau. Saya kemudian jadi anak yang pada bulan-bulan awal perantauan masih minta tambahan uang pada ibu saya untuk sekedar menambah uang kos. Saya kemudian memilih untuk nekad menjadi apa yang saya sebut sebagai ‘budak kapitalis’.
Kalau saya suatu saat jadi ibu, saya akan memilih untuk sehebat ibu saya dalam merelakan anaknya ingin jadi apa. Jika nanti anak saya memilih untuk menjadi budak kapitalis juga seperti saya, silakan. Atau jika anak saya memilih untuk jadi pendidik seperti Pak Johannes Surya, ya silakan juga.

Pemain Film
Nah, jika suatu saat saya punya anak dan dia memilih menjadi pemain fillm seperti Rachel Amanda, ya nggak apa-apa juga. Menghadiri undangan Bang Jerry (Jeremias Nyangoen) menengok shooting “I Love You, Om” di Rumah Susun Benhil beberapa bulan lalu, saya terpesona oleh penampilan Amanda. Menggemaskan. Kalau kata anak muda sekarang, lucu banget. Amanda tidak canggung berhadapan dengan Ira Wibowo. Justru dia canggung ketika berhadapan dengan Restu Sinaga. Canggung dalam arti sebenar-benarnya canggung anak ABG menghadapi seorang om ganteng dan memesona. Saya jadi merefleksikan pada diri sendiri bagaimana jika saya menghadapi om seganteng dan sememesona itu. Pasti saya secanggung Amanda juga. Luar biasa Amanda! Dia mampu menerjemahkan kegalauan saya.
Lalu saya berpikir kalau saya yang menjadi pemain film seperti Amanda. Bisakah saya sebaik dia? Dalam tataran peran, ada tiga tahapan yang membedakan kualitas peran seseorang. Ketiga tahap itu adalah pretending, acting, dan being.
Ketiga tahap ini sebenarnya sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bermaksud menyinggung siapa pun, seorang budak kapitalis dengan penghasilan seadanya seperti saya dan Anda sering kali pretending to be the have. Buktinya adalah membeli sepasang sepatu bermerek terkenal dengan pertolongan kartu kredit. Atau, tiba-tiba saja saya bisa terlihat sangat serius bekerja di depan monitor padahal permainan seru lah yang sedang saya tekuni. Hahaha, saya bisanya cuma pretending.
Lain dengan Al Pacino. He has reached the stage of being. Saking hebatnya dia, bukan hanya saya, banyak orang hapal beberapa cuplikan dialog dalam The Godfather. Kalau anak saya nanti ingin jadi seperti Al Pacino, ya nggak apa-apa juga.


Film, lahan, dan iklimnya
Al Pacino bisa menjadi seperti itu dengan berbagai kemudahan yang dinikmatinya. Ibarat sebutir benih unggulan, Al Pacino tumbuh di atas tanah yang subur, berair cukup, sinar matahari tidak kurang, dan petani telaten yang merawatnya. Sebagai seorang pelaku, Al Pacino bermain dalam film yang diproduksi oleh Holywood yang kemudian menjadi komoditi yang laku dijual dalam sebuah mega industri ke seluruh dunia. Film Amerika menjadi raja di negerinya dan dengan mudahnya diterima pula di negeri lain.
Film Indonesia? Waduh, hanya ingin sekedar ditonton saja sudah memerlukan perjuangan yang luar biasa. Penghasil film Indonesia itu banyak, tapi jalur distribusinya sedikit. Sebagai sebuah industri, logikanya jika produsen banyak, maka ada berbagai pilihan distribusi hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen. Yang saya tak habis pikir adalah mengapa peredaran film Indonesia koq jalur distribusinya terbatas, ya?
Jika nanti anak saya ingin jadi distributor film, saya akan dengan senang hati mempersilakannya. Nonton film itu ’kan nikmat. Jadi, jika anak saya jadi distributor film yang sukses, maka anak saya akan memiliki andil dalam menebar kenikmatan pada masyarakat lainnya.
Nah, kalau tiba-tiba anak saya ingin jadi birokrat, saya agak bingung. Saya terlampau optimis dengan pemerintah Indonesia saat ini sehingga jadinya saya sering kali harus menurunkan tingkat harapan saya itu. Contohnya, ya soal distribusi film itu tadi. Menurut logika saya yang sederhana, pemerintah adalah kelompok konsumen yang dapat menjadi sasaran pasar alias penikmat film. Dengan demikian, sepatutnya ada jalur distribusi khusus yang menyentuh target market ini. Tapi melihat gelagatnya sekarang, jangan-jangan pemerintah kita belum pernah menonton film Indonesia.
Kembali lagi pada persoalan anak saya, rupanya saya harus konsisten dengan kebijakan saya bahwa saya akan mempersilakan dia menjadi apa yang dia inginkan. Termasuk jika dia ingin jadi birokrat. Saya akan berdoa agar dia menjadi birokrat yang punya hobi menonton film Indonesia. Langkah pertama yang akan saya lakukan adalah saya akan mengajak anak saya menonton film “I Love You, Om” supaya dia belajar mengenai kepiawaian Ira Wibowo, Restu Sinaga, dan tentu saja Rachel Amanda. Jadi, jika suatu saat anak saya canggung menghadapi seorang om ganteng dan memesona dalam kehidupannya, ya biarkan saja. Canggung itu mengahadapi sesuatu di luar kuasa diri itu wajar. Yang tidak wajar adalah yang seharusnya mampu mengendalikan distribusi film di Indonesia namun malah tidak pernah nonton film Indonesia.
Saya tidak bermaksud mengusik kehidupan atau anak siapa pun. Jadi, jangan ada yang tersinggung, ya. Yang penting untuk saya adalah anak saya. Saya akan persilakan dia menjadi apa pun yang dia kehendaki, termasuk bila dia harus jatuh cinta pada seorang om, asalkan om itu minimum sekelas Restu Sinaga. Kalau kata Al Pacino, ”I make you an offer you can not resist”.

*** Ike Noorhayati Hamdan