Senin, 25 April 2011

Sepasang kaki dan puluhan pasang sepatu

Urusan sepatu pernah jadi nazar tahun baru saya tahun lalu. Dan terpenuhi selama tahun 2010 ini. Well, meski sekarang 2011 sudah lewat 4 bulan, tapi tetap ada hikmahnya mengingat kembali soal nazar ini.

Sebenarnya, nazar - atau yang belakangan tahun ini dikenal juga sebagai resolusi tahun baru - saya ini sederhana saja. Begitu waktu menapaki Januari 2010, saya berjanji untuk tidak membeli sepatu kecuali karena sehubungan dengan Lebaran yang memang merupakan momen istimewa. Untuk banyak orang, ini hal yang picisan. Tapi untuk wanita, saya berani bertaruh bahwa ini punya tantangan sendiri yang luar biasa.

Bukan tanpa alasan bahwa sepatu merupakan salah satu obsesi wanita. Dari mulai yang dipakai sehari-hari sampai yang urusan pesta. Yang sehari-hari pun ada yang dipakai di hari kerja dan ada yang dipakai di weekend. Yang untuk pesta, ada yang untuk pesta resmi dengan padanan adi busana, ada juga yang untuk pesta santai di kebun bersama kerabat. Itu baru soal occasion. Belum lagi soal warna.

So, if I had to admit, before 2010, saya punya sepatu hampir 40 pasang. Memang belum sekelas Imelda Marcos, tapi yup, 40! Kapan saya beli? Kebanyakan saya tak ingat karena urusan sepatu yang spesial ini jadi tidak terlalu istimewa karena menjadi terlalu biasa. Dari 40 pasang ini, berapa yang saya pakai? Ternyata tidak lebih dari 7 pasang saja. Eh, ternyata itu pun cukup untuk ganti setiap hari 'kan?

Urusan sepatu ini membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa musuh terbesar yang harus dihadapi adalah hawa nafsu kita sendiri. Ya, nafsu yang membuat saya terbutakan bahwa seandainya saya lebih bisa menahan diri sejak dulu, uang yang saya hamburkan untuk sepatu itu bisa untuk membantu saudara kita.

Hasilnya? Selama 2010 hanya beli 4 pasang sepatu saja. Total yang tersisa di rumah pun tak lebih dari 10 pasang karena sepatu yang jarang saya pakai namun masih layak, saya sumbangkan kepada mereka yang lebih membutuhkannya. Sepatu yang saya beli pun jadi lebih berkualitas karena 2 pasang dibeli saat lebaran, sepatu & sendal, dan 2 pasang lagi beli di Eropa. Yang beli waktu lebaran, sebenarnya niat beli 1 pasang saja. Tapi sendal yang saya pake koq ya copot pas lagi jalan di mall. Lha, copot koq milih tempat? Not bad lah :).

Untuk yang berkecimpung pada bidang pemasaran dengan target wanita, musti lebih cerdik untuk kelompok wanita seperti saya. Bukan apa-apa, I'm not too feminin. Even my Brain Wiring Test is scored 70, way below what-so-called normal level of 180.

So, urusan puasa sepatu ini bukan hanya masalah mengirit pos belanja. Namun lebih dari itu, pengendalian diri. Toh, gak punya sepatu pink gak sampe mati kan ;)

Rabu, 13 April 2011

Hasta Brata: Pemimpin Bijak Selaras Alam

Di antara banyak teori modern barat tentang kepemimpinan, ternyata secara tradisional pun kita memiliki prinsip dasar leadership. Dikisahkan dalam berbagai cerita wayang, seseorang barulah dikatakan pemimpin bila memiliki sifat yang mencerminkan 8 unsur. Hasta Brata.

1. Surya > matahari. Menyinari, memberi semangat tumbuh.
2. Chandra > bulan. Membangkitkan harapan saat tertimpa kesulitan.
3. Kartika > bintang. Menjadi teladan, memberi pedoman.
4. Langit > angkasa. Memiliki keluasan bathin, mampu mengendalikan diri.
5. Dahana > api. Menegakkan kebenaran dengan tegas, wibawa.
6. Maruta > angin. Mengisi kehidupan, dekat dengan siapa pun.
7. Banyu > air. Menempatkan diri dengan adil, sejuk, menyegarkan.
8. Bumi > tanah. Menghargai jerih payah, memberi hasil pada yang tekun.

Istimewalah yang mencapai Hasta Brata itu. Bukan cuma pemimpin, tapi telah melampaui. Meta leader.

Semuanya ada di alam. Mulia, tetapi tak mudah. jadikan saja itu sebagai doá. Sebaik-baiknya doá adalah yang sering diucapkan. Maka, anak-anakku namanya diambil dari Hasta Brata.

2 anak saja, Langit & Banyu. Repot klo musti 8 :).