Rabu, 18 Juli 2012
Always learning
Beberapa hari lalu rame banget pada ngomongin taksi Porsche & Ferrari. Ternyata ini dalam rangka peluncuran layanan baru Mobile Banking Bank Mandiri. Kata orang bank-nya yang pernyataannya saya baca di mana gitu, taksi itu melayani penumpangnya, bank melayani nasabahnya. Terus, itu kan 2 jenis mobil canggih. Maksudnya mau ngomong bahwa layanan mobile banking yang mau launching itu seperti itu.
Sebenarnya klop banget klo diklop-klopin. Belum lagi, efek word of mouth marketing-nya jalan. Oke lah. Yang bikin ribet adalah kemudian dihentikan Dishub dan pemilik brand mobil itu mengajukan tuntutan penggunaan merk dagang tanpa ijin.
Saya pikir kegelisahan pemilik brand mobil mewah ini wajar. Brand mewah pasti dijaga baik-baik persepsi dan eksistensinya. Lha tiba-tiba sembarangan dipakai kendaraan umum? Gratis pula. Kira-kira kalau saya penjaga brand itu, marahkah saya?
Atau seandainya pun bank ini meminta ijin ke pemilik brand mobil mewah ini, kasih ijin gak, ya?
Oh ya, ternya taksi ini sudah seminggu mangkal di beberapa mall Jakarta. Katanya, taksi ini dikawal oleh Patwal 1 motor polisi ketika beroperasi. Tapi karena ini ketahuan ilegal dan dihentikan paksa operasinya, pihak kepolisian membantah melakukan pengawalan. Yeah, right. Very expected respond.
Saya terkirimi pula broadcast message via Whatsapp untuk turut merasakan taksi mewah ini secara gratis. Gak terlalu saya anggap, sih. Pertanyaan saya sederhana saja: Dengan lalu lintas Jakarta saat ini, emang mau ngebut di mana tuh Prosche & Ferrari? :))
Selasa, 17 Juli 2012
Dinas Pajak mengirim dokumen ke rumahku!
Di tengah riuh rendah perilaku para pegawai pajak yang kolokan -senang disuapi seperti anak kecil- dan mencapai tingkat kekayaan materi dalam kurun dan jumlah tidak wajar,pada Selasa, 17 Juli 2012 saya menerima salinan SPPT yang dikirimkan oleh kantor pajak secara melalui kurir khusus ke rumah saya. Ini bagaikan menerima tunjangan akhir tahun pada minggu terakhir Desember: seharusnya terpenuhi namun sering tidak terlaksana.
Urusan PBB tahunan ini memang lebih dari sekedar nominal sekian rupiah yang dibayarkan oleh pembayar pajak. Ya, pembayar pajak, bukan sekedar warga negara. Sampai kantor pajak mengirimi saya salinan SPPT ke rumah ini panjang ceritanya. Harusnya, SPPT diterima oleh pembayar pajak melalui RW atau kelurahan setempat. Bulan lalu, saya mintakan ke RW, tidak ada. Lalu disarankanlah ke kelurahan. Di sinilah petualangan ini dimulai. Ha!
Karena saya adalah budak kapitalis yang lebih memilih tetap ngantor daripada ke kelurahan, saya utuslah satpam kompleks untuk memintakan SPPT 2012 ini ke kelurahan. 1 kali, tidak ada. 2 kali, tidak ada. 3 kali, tidak ada. Dan dengan santainya disampaikan oleh petugas kelurahan, "Ah, bukannya rumah itu doang koq yang gak ada. 64 lainnya juga gak ada." Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, inilah kata-kata yang disampaikan oleh pegawai pemerintah yang bersentuhan langsung dengan warga negara.
Karena dalam hal ini saya bertindak bukan hanya sebagai warga negara melainkan sebagai pembayar pajak, maka saya menuntut hak saya untuk memperoleh SPPT PBB. Memang PBB bisa dibayar tanpa SPPT, namun ini seperti memesan makanan tanpa diberi menu terlebih dahulu. Atau membayar tanpa ada bill terlebih dahulu.
Jadi, demi memperoleh SPPT ini, saya menelepon Kring Pajak 500 200. Koq saya bisa tahu nomor Kring Pajak? :). Well, pas banget ketika pagi lihat koran ada iklan Kring pajak. Dua kali saya menelepon, 3 Juli 2012 (diterima oleh Bapak Budi) dan 4 Juli 2012 (diterima oleh Ibu Fian). Kedua petugas ini memberikan pelayanan dengan baik, namun saya tidak dapat mengikuti saran keduanya untuk mendatangi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong yang hanya buka pada Senin-Jum'at. Sesudah 3 kali ke kelurahan dan nihil, saya disuruh ke kantor pajak gitu? Hello..... membayangkan dipingpong di kantor pajak saja sudah bikin nafsu makan hilang.
Bapak Budi petugas Kring Pajak itu meminta saya mengirimkan copy SPPT 2011 yg saya miliki melalui faks. Beberapa kali dicoba namun tidak dapat terkirim. Karena itu, saya meminta alamat email pengaduan pajak. Dengan baik, alamat email pengaduan@pajak.go.id diinformasikan oleh Ibu Fian ketika saya menelepon keesokan harinya. Copy SPPT 2011 saya sampaikan pada lampiran email.
Sehubungan dengan hak saya sebagai pembayar pajak yang beritikad baik untuk membayar PBB tahun 2012 ini, saya minta agar salinan SPPT PBB tahun 2012 ini disampaikan secara elektronik melalui email. Oh ya, tak lupa pula saya sampaikan bahwa bila dalam 3 x 24 jam pengaduan ini tidak ditanggapi, saya akan melakukan pengaduan secara terbuka melalui media massa.
Nah, esoknya saya langsung ditelepon oleh Kring Pajak. Masih tetap disarankan untuk ke datang ke kantor pajak minta salinan. Saya mau bayar, surat tagihannya tak ada, lalu saya disuruh merugi waktu pula untuk datang ke kantor pajak. No way!
Beberapa hari tak ada kabar, baru Senin, 16 Juli 2012 ditelepon lagi oleh Kring Pajak -kali ini yang menelepon namanya Pak Fitra- bahwa DPP Pratama Serpong menghubungi saya namun tidak nyambung teleponnya. Disampaikanlah kronologisnya berdasarkan penelusuran Berita Acara sebagai berikut: (btw, sampai ditelusuri Berita Acara tuh)
- DPP Pratama Serpong mengirimkan SPPT ke DPP KAD tanggal 27 Februari 2012
- DPP KAD mengirimkan ke kecamatan tanggal 27 Maret 2012
Wow, di wilayah kota yang sama, butuh sebulan lho untuk kirim. Dan, sudah.Catatan hanya sampai di situ. Dari kecamatan ke kelurahan ghaib aja gitu.
Nah, berhubung katanya beberapa hari ini KPP Pratama Serpong tak bisa menghubungi saya, saya bilang ke Kring Pajak untuk bilang ke KPP untuk menelepon saya sekarang. Mumpung lagi bisa dihubungi, nih :).
Beneran, lho! Beberapa menit kemudian, Ibu Ari dari KPP nelepon saya. Dia bilang Salinan SPPT PBB 2012-nya ada padanya dan disetujui untuk dikirimkan ke alamat saya. Saya bilang bahwa via e-mail saja juga OK. Tapi, justru kantor pajak yang tak bisa. Baiklah, saya tunggu SPPT-nya di rumah.
Voila! Selasa, 17 Juli 2012 saya menerima dengan baik SPPT salinan yang dikirimkan melalui kurir oleh KPP Pratama Serpong. Jadi, SPPT saya terima hanya berselang satu hari setelah Ibu Ari berjanji mengirimkan dokumen tersebut. Mengingat pelayanan publik di Indonesia yang you-know-lah, untuk saya ini adalah rekor.
Hari ini, tagihan PBB telah saya bayar.
Input dari saya sehubungan dengan hal ini:
- Koordinasi yg lebih baik dari Kantor Pajak serta instansi terkait lainnya sehubungan dengan informasi pengiriman SPPT Asli hanya terlacak sampai dengan DPP KAD & Kecamatan. Pembayar pajak yang tidak melakukan penelusuran seperti yang saya lakukan mungkin sampai saat ini belum menerima SPPT-nya yang bisa menyebabkan keterlambatan pembayaran sehingga muncul denda yang tidak seharusnya timbul & ditanggung oleh pembayar pajak.
- Saya sangat menyarankan agar Salinan dapat pula diperoleh secara elektronik melalui email.
Saya sangat yakin bahwa Dinas Pajak memiliki kemampuan & sudah sepatutnya berkemauan untuk meningkatkan pelayanan publik sesuai dengan kampanye pajak yang digaungkan secara luas.
Jakarta, 18 Juli 2012
Kamis, 25 Agustus 2011
Ied Festival
Tulisan kali ini menjawab posting @yuswohady mengenai Lebaran Marketing.
Selama ini kita memandang bulan puasa dengan puncaknya ada di Ramadhan. Fenomena Pegadaian after Ramadhan ini juga menunjukkan bahwa ini merupakan post event, aktivitas yang dilakukan untuk menutupi puncak spending yang terjadi saat lebaran.
Namun, saya berpikir bahwa ini tidak mewakili semua kalangan masyarakat. Contoh yang sederhana, saya tidak menemukan ada diantara teman-teman saya yang mengunjungi Pegadaian after lebaran.
Saya mau share yang saya alami sehubungan dengan marketing lebaran yang Mas Siwo singgung sebelumnya.
Untuk saya, hawa lebaran telah terasa pada 2 minggu sebelum Ramadhan. Munggahan adalah kegiatan menyambut bulan puasa, entah ini bagian dari sunnah atau hanya bagian dari tradisi saja. Jadi, sebelum puasa dimulai, ada aktivitas untuk siap-siap menghadapi puasa. Dulu sih saya diajarkan oleh ibu saya bahwa hari terakhir sebelum puasa itu untuk bersih-bersih. Mulai dari rumah, kamar, bahkan yang terpenting adalah dari diri sendiri, yaitu menjalankan terawih pertama itu dalam keadaan sudah keramas. Bersih luar dalam menyambut bulan suci.
Semakin kemari, aktivitas saya jadi bertambah kompleks dalam rangka munggahan ini. Sebelum Ramadhan datang, saya sempatkan dulu nyalon utk bersih-bersih. Creambath, meni-pedi, potong rambut, sampai luluran untuk meluruhkan kotoran yang menempel. Secara hakikat, itu sih tidak salah. Bersih-bersih diri, dong. Lalu, saya akan menikmati hari-hari terakhir menikmati makanan saat matahari bersinar. Dari situlah, berbagai janjian
Yes, 14 hari sebelum Ramadhan dimulai, satu per satu jadwal janjian bersama teman, mulai dari makan siang hingga ngopi sore dan makan malam, berderet rapi di jadwal saya. Dari mulai teman kantor, teman kuliah, teman arisan, bahkan teman main bilyard. Semuanya ini untuk saya istimewa. Jadi, selama memang saya bisa, saya akan datang.
Karena ini semua menyambut Ramadhan, kostumnya pun saya sesuaikan. Jadi, meski janjian pulang kantor, setidaknya saya akan membawa pashmina supaya lebih berbau Ramadhan. Lama-lama, koleksi pashmina saya menipis. Karena janjian banyak di kafe atau mall, pas banget nih klo sekalian beli shawl atau pashmina.
Lantas tibalah bulan Ramadhan. Seperti kebanyakan dari kita, minggu kedua dan ketiga bulan puasa adalah masa panen raya buka bersama. Sekali lagi urusan kostum juga salah satu yang dipertimbangkan. Eh, kayaknya gak punya sepatu krem deh untuk buka bareng sama gank X. Hmmm, tuh flat shoes hitam itu kayaknya lucu juga buat buka bareng sama teman kantor. So, sebelum lebaran mulai, sudah bertambahlah itu koleksi lemari saya.
Dua minggu menjelang hari raya, tiba masa turun THR sesuai aturan pemerintah. Setelah selesai semua kewajiban anak-anak, para asisten rumah tangga dll, berarti tibalah waktunya menyenangkan diri sendiri. Beli baju lebaran? Tentu saja boleh. Jangan lupa, urusan kendaraan dll yg juga perlu diperhatikan saat perjalanan mudik nanti.
Lanjut lagi, menjelang saat mudik ke Bandung, sudah terpikir daftar tempat yang akan dikunjungi. Apa lagi bila bukan tempat makanan dan fashion. Gak afdhol ke Bandung tanpa menikmati wisata ini.
Nanti balik ke Jakarta sesudah lebaran, selama satu bulan sesudah lebaran, saya sudah siap-siap dengan jadwal halal bi halal bersama teman-teman yang tidak sempat bertemu sebelum & selama Ramadhan.
So, untuk saya, Ied Festival ini bukan hanya soal lebaran. Keriaan ini berlangsung hampir 3 bulan. So, in my marketing point of view, this is the longest festive season compared to other festivity, Chinese New Year, Season's Greeting, School Holiday, which last less than Ied Festival. Then, it would be a waste if marketer don't cater it the right way.
Selama ini kita memandang bulan puasa dengan puncaknya ada di Ramadhan. Fenomena Pegadaian after Ramadhan ini juga menunjukkan bahwa ini merupakan post event, aktivitas yang dilakukan untuk menutupi puncak spending yang terjadi saat lebaran.
Namun, saya berpikir bahwa ini tidak mewakili semua kalangan masyarakat. Contoh yang sederhana, saya tidak menemukan ada diantara teman-teman saya yang mengunjungi Pegadaian after lebaran.
Saya mau share yang saya alami sehubungan dengan marketing lebaran yang Mas Siwo singgung sebelumnya.
Untuk saya, hawa lebaran telah terasa pada 2 minggu sebelum Ramadhan. Munggahan adalah kegiatan menyambut bulan puasa, entah ini bagian dari sunnah atau hanya bagian dari tradisi saja. Jadi, sebelum puasa dimulai, ada aktivitas untuk siap-siap menghadapi puasa. Dulu sih saya diajarkan oleh ibu saya bahwa hari terakhir sebelum puasa itu untuk bersih-bersih. Mulai dari rumah, kamar, bahkan yang terpenting adalah dari diri sendiri, yaitu menjalankan terawih pertama itu dalam keadaan sudah keramas. Bersih luar dalam menyambut bulan suci.
Semakin kemari, aktivitas saya jadi bertambah kompleks dalam rangka munggahan ini. Sebelum Ramadhan datang, saya sempatkan dulu nyalon utk bersih-bersih. Creambath, meni-pedi, potong rambut, sampai luluran untuk meluruhkan kotoran yang menempel. Secara hakikat, itu sih tidak salah. Bersih-bersih diri, dong. Lalu, saya akan menikmati hari-hari terakhir menikmati makanan saat matahari bersinar. Dari situlah, berbagai janjian
Yes, 14 hari sebelum Ramadhan dimulai, satu per satu jadwal janjian bersama teman, mulai dari makan siang hingga ngopi sore dan makan malam, berderet rapi di jadwal saya. Dari mulai teman kantor, teman kuliah, teman arisan, bahkan teman main bilyard. Semuanya ini untuk saya istimewa. Jadi, selama memang saya bisa, saya akan datang.
Karena ini semua menyambut Ramadhan, kostumnya pun saya sesuaikan. Jadi, meski janjian pulang kantor, setidaknya saya akan membawa pashmina supaya lebih berbau Ramadhan. Lama-lama, koleksi pashmina saya menipis. Karena janjian banyak di kafe atau mall, pas banget nih klo sekalian beli shawl atau pashmina.
Lantas tibalah bulan Ramadhan. Seperti kebanyakan dari kita, minggu kedua dan ketiga bulan puasa adalah masa panen raya buka bersama. Sekali lagi urusan kostum juga salah satu yang dipertimbangkan. Eh, kayaknya gak punya sepatu krem deh untuk buka bareng sama gank X. Hmmm, tuh flat shoes hitam itu kayaknya lucu juga buat buka bareng sama teman kantor. So, sebelum lebaran mulai, sudah bertambahlah itu koleksi lemari saya.
Dua minggu menjelang hari raya, tiba masa turun THR sesuai aturan pemerintah. Setelah selesai semua kewajiban anak-anak, para asisten rumah tangga dll, berarti tibalah waktunya menyenangkan diri sendiri. Beli baju lebaran? Tentu saja boleh. Jangan lupa, urusan kendaraan dll yg juga perlu diperhatikan saat perjalanan mudik nanti.
Lanjut lagi, menjelang saat mudik ke Bandung, sudah terpikir daftar tempat yang akan dikunjungi. Apa lagi bila bukan tempat makanan dan fashion. Gak afdhol ke Bandung tanpa menikmati wisata ini.
Nanti balik ke Jakarta sesudah lebaran, selama satu bulan sesudah lebaran, saya sudah siap-siap dengan jadwal halal bi halal bersama teman-teman yang tidak sempat bertemu sebelum & selama Ramadhan.
So, untuk saya, Ied Festival ini bukan hanya soal lebaran. Keriaan ini berlangsung hampir 3 bulan. So, in my marketing point of view, this is the longest festive season compared to other festivity, Chinese New Year, Season's Greeting, School Holiday, which last less than Ied Festival. Then, it would be a waste if marketer don't cater it the right way.
Jumat, 17 Juni 2011
Saya pejalan kaki
Ketika sedang menyusun tulisan mengenai trotoar, kawan baik saya, Yulia 'Iya' Sapthiani, bertanya apakah saya sering jalan kaki di Jakarta. Dia menduga bahwa mengingat kondisi Jakarta yang kurang bersahabat dengan keringat, Iya menduga bahwa saya tidak berjalan kaki di Jakarta.
Dan ternyata dia tidak menyangka bahwa saya masih berjalan kaki cukup jauh dan sering untuk ukuran penduduk Jakarta. Jadi begini kisah saya sebagai pejalan kaki.
Ya, saya adalah pejalan kaki sejati. Ada masanya ketika saya di Bandung, kalau sedang iseng saya jalan dari kampus ke rumah. Ya, Dipati Ukur - Guruminda itu 17 km. Jalan kaki aja gitu. Capek? Haus? Ya, beli aja minum atuh. Dan itu bukan sekali dua kali, sering :).
Di Jakarta, saya tetap menyukai aktivitas berjalan kaki. Saat sharing dengan Iya ini, kantor saya di daerah Thamrin. Saya adalah pengguna rutin jasa kereta api. Jadi, saya suka iseng pulang kantor jalan ke stasiun. Betul, saya jalan melintasi HI dari Thamrin ke arah Stasiun Sudirman. Selain ke stasiun, saya juga sering jalan kaki selepas makan siang dari Plaza Indonesia ke kantor. Rute itu memang ada shuttle bus, tapi saya prefer jalan kaki karena lebih cepat dibanding naik bus atau taksi. Dan aktivitas ini pun membakar kalori karena kalau pulang maksi tuh kan sekitar jam 2 siang (ya, jatah makan siang 1 jam sering exceed :)). Bayangin aja tuh panasnya. Klo mengenai jalan kaki ke stasiun, klo pas lg macet jam 6an sore gitu, senang aja jalan kaki ngeledekin yg terjebak dlm kendaraan. Hehehe.
Ada kejadian tak mengenakkan soal jalan kaki di Jakarta. Satu kali, pernah hampir dirampok waktu jalan ama suami di sekitar Benhil. Kejadian ini sekitar pukul 9 pagi. Sedang berjalan di Sudirman dari arah Benhil ke arah jalan raya. Di rempug 5 orang. Satu pegang kaki laki gw, satu mau ngambil dompet, tiga mengerubuti. Untungnya laki gw sadar dan nendang salah satu dr mereka. Then... wuzzz mereka menghilang dan orang-orang melengos aja.
Alhamdulillah gak ilang apa-apa, cuma sendal aja yg putus :):)Terus kayaknya orang yg lihat cuek aja. Hal lain yang menyebalkan adalah trotoar yg termakan kaki lima. Bukannya against rakyat kecil, tapi mengganggu kenyamanan.
Terus terang saya rada shock jg dengan kejadian di Benhil itu. Karena semenjak lulus kuliah dan ke Jakarta tuh ya saya tinggal di Benhil. Ternyata bahaya mengincar bisa di mana aja, even at the place that we feel home.
Sebenarnya pernah juga punya pengalaman asyik di trotoar. Pernah jajan tahu gejrot sambil lihat sunset di Bundaran HI. Sumpah, enjoyable banget! Rasanya gak kalah dgn nongkrong di warung kopi di Eropa.
So far, menurut saya Sudirman-Thamrin sudah lumayanlah. Indikasinya adalah bisa ngegerek koper dgn enak. Yup, I've tried :):).
Bayanganku trotoar yg asyik adalah spt di Amsterdam. Itu kota termasuk rada kisruh utk ukuran Eropa. Tapi utk modeling Indonesia malah lebih realistis :). Mungkin karena kita kelamaan dijajah kaum mereka dahulu :).
Fyi, Iya cerita bahwa dari penelitian LSM di Phiilipina tentang walkability cities (di 13 kota di Asia), yg dibiayai Asian Development Bank, Indonesia punya ranking terendah. Kalah sama kota-kota di India & Philipina yg juga kisruh. Wah, India lebih walkable daripada Indonesia. Ckckck.
Jika demokrasi suatu negara tercermin dari trotoar, maka menurut logika saya maka pejalan kaki adalah cerminan warga yang demokratis. Right? :)
Entahlah. Yang jelas, saya tidak pernah menahan nafsu makan - kecuali puasa - namun alhamdulillah BMI saya selalu dalam range normal. Paling banter montok doang sih waktu sedang hamil dan menyusui :).
So, proudly present: Saya adalah pejalan kaki!
Dan ternyata dia tidak menyangka bahwa saya masih berjalan kaki cukup jauh dan sering untuk ukuran penduduk Jakarta. Jadi begini kisah saya sebagai pejalan kaki.
Ya, saya adalah pejalan kaki sejati. Ada masanya ketika saya di Bandung, kalau sedang iseng saya jalan dari kampus ke rumah. Ya, Dipati Ukur - Guruminda itu 17 km. Jalan kaki aja gitu. Capek? Haus? Ya, beli aja minum atuh. Dan itu bukan sekali dua kali, sering :).
Di Jakarta, saya tetap menyukai aktivitas berjalan kaki. Saat sharing dengan Iya ini, kantor saya di daerah Thamrin. Saya adalah pengguna rutin jasa kereta api. Jadi, saya suka iseng pulang kantor jalan ke stasiun. Betul, saya jalan melintasi HI dari Thamrin ke arah Stasiun Sudirman. Selain ke stasiun, saya juga sering jalan kaki selepas makan siang dari Plaza Indonesia ke kantor. Rute itu memang ada shuttle bus, tapi saya prefer jalan kaki karena lebih cepat dibanding naik bus atau taksi. Dan aktivitas ini pun membakar kalori karena kalau pulang maksi tuh kan sekitar jam 2 siang (ya, jatah makan siang 1 jam sering exceed :)). Bayangin aja tuh panasnya. Klo mengenai jalan kaki ke stasiun, klo pas lg macet jam 6an sore gitu, senang aja jalan kaki ngeledekin yg terjebak dlm kendaraan. Hehehe.
Ada kejadian tak mengenakkan soal jalan kaki di Jakarta. Satu kali, pernah hampir dirampok waktu jalan ama suami di sekitar Benhil. Kejadian ini sekitar pukul 9 pagi. Sedang berjalan di Sudirman dari arah Benhil ke arah jalan raya. Di rempug 5 orang. Satu pegang kaki laki gw, satu mau ngambil dompet, tiga mengerubuti. Untungnya laki gw sadar dan nendang salah satu dr mereka. Then... wuzzz mereka menghilang dan orang-orang melengos aja.
Alhamdulillah gak ilang apa-apa, cuma sendal aja yg putus :):)Terus kayaknya orang yg lihat cuek aja. Hal lain yang menyebalkan adalah trotoar yg termakan kaki lima. Bukannya against rakyat kecil, tapi mengganggu kenyamanan.
Terus terang saya rada shock jg dengan kejadian di Benhil itu. Karena semenjak lulus kuliah dan ke Jakarta tuh ya saya tinggal di Benhil. Ternyata bahaya mengincar bisa di mana aja, even at the place that we feel home.
Sebenarnya pernah juga punya pengalaman asyik di trotoar. Pernah jajan tahu gejrot sambil lihat sunset di Bundaran HI. Sumpah, enjoyable banget! Rasanya gak kalah dgn nongkrong di warung kopi di Eropa.
So far, menurut saya Sudirman-Thamrin sudah lumayanlah. Indikasinya adalah bisa ngegerek koper dgn enak. Yup, I've tried :):).
Bayanganku trotoar yg asyik adalah spt di Amsterdam. Itu kota termasuk rada kisruh utk ukuran Eropa. Tapi utk modeling Indonesia malah lebih realistis :). Mungkin karena kita kelamaan dijajah kaum mereka dahulu :).
Fyi, Iya cerita bahwa dari penelitian LSM di Phiilipina tentang walkability cities (di 13 kota di Asia), yg dibiayai Asian Development Bank, Indonesia punya ranking terendah. Kalah sama kota-kota di India & Philipina yg juga kisruh. Wah, India lebih walkable daripada Indonesia. Ckckck.
Jika demokrasi suatu negara tercermin dari trotoar, maka menurut logika saya maka pejalan kaki adalah cerminan warga yang demokratis. Right? :)
Entahlah. Yang jelas, saya tidak pernah menahan nafsu makan - kecuali puasa - namun alhamdulillah BMI saya selalu dalam range normal. Paling banter montok doang sih waktu sedang hamil dan menyusui :).
So, proudly present: Saya adalah pejalan kaki!
Minggu, 12 Juni 2011
Kopi Luwak
Beberapa waktu lalu sempat diskusi dengan seorang kawan yang berniat untuk mempopulerkan kopi luwak secara internasional. @VaryanG yang saat ini berada di Inggris punya niat mulia untuk itu.
I wanna share my view about kopi luwak.
I -my self- actually a coffee aficionado. I have any kind of coffee at my house from all around Indonesia. You name it, from Aceh Gayo -also kopi ganja :)- to kopi Wamena, I have it. Every time I had my trip, I always try & bring local coffee for my souvenir. And whenever some one I know had a trip, I always take coffee for the souvenir. In short, can't live without it, it's my drug :).
Lalu soal kopi luwak. At first, I find it really fancy & gaya banget minum kopi spesial seperti itu. Dulu masih susah dapatnya, belum ramai dijual seperti sekarang. Jadi saya tidak pernah punya pasokan/stock kopi luwak, karena memang langka. Klo dapat kiriman dari kawan itu jarang-jarang karena tergantung pas dapatnya saja.
Ternyata kemudian kopi luwak jadi trend banget. Tiba-tiba jadi bertebaran kedai yang menyediakan kopi luwak. Rata-rata ditawarkan 8-12 USD per cangkir atau sekitar Rp 80 ribuan (waktu itu kurs masih di angka Rp 9 ribuan). Terakhir saya pernah cek di Kafe Toraja Pasaraya Grande tuh secangkir kopi luwak di jual seharga Rp 300 ribuan. Wah, ini sih menurut saya udah keterlaluan mahalnya.
Saya jadi penasaran bagaimana bisa kopi luwak yang dulu eksklusif koq sekarang jadi gampang banget. Awalnya saya senang karena jadi gampang didapat. Saya jadi banyak cari tahu. Jadi, kopi luwak sekarang yang berkembang di pasaran iu ada 2 jenis, alami dan ternak. Yang paling banyak adalah yang diternakkan.
Pasti Varyan sudah tahu bahwa distinctive flavor yang dihasilkan oleh kopi luwak adalah dari proses biji kopi yang bereksi dengan enzim pencernaan luwak. Pada awalnya, luwak yang makan kopi ini adalah hanya semacam dessert saja buat mereka. Jadi, luwak itu bukan makanan utama. Habitat asli luwak itu adalah di Sumatera. Seiring dengan berkurangnya hutan, maka ada pergeseran di mana luwak tak lagi memakan kopi sebagai makanan penutup/pemanis dari makanan utamanya. Dengan berubahnya habitat alami mereka, makanan utama mereka jadi berubah dari segi jenis & jumlahnya. Makanan utama berkurang, jadi makanannya jadi ngasal, kadang kala mereka pun jadi banyak makan kopi. Ini yang menyebabkan pasokan kopi luwak alami itu tidak bisa diprediksikan.
Karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka kemudian dikembangbiakkanlah luwak ini. Pada beberapa produsen kopi luwak, saya memperoleh informasi bahwa mereka menangkarkan luwak di peternakan. Jadi, yang tadinya kopi adalah makan penutup atau makanan selingan, luwak dikondisikan untuk menjadikan kopi sebagai makanan utama. Nah, saya membayangkan jika hal tersebut terjadi pada kita. Misalnya kita yang biasa makan nasi/kentang plus daging dengan agar-agar sebagai dessert, tiba-tiba harus menerima kondisi bahwa kita makan agar-agar all the time dengan alasan ada yang mengambil keuntungan ekonomis dari diri kita. Atau jangan terapkan ini pada manusia, coba terapkan ini ke sesama hewan. Saya melihatnya ini seperti mink coat, kemewahan mantel bulu yang dinikmati manusia dengan mengorbankan hewan. Duh, koq saya gak tega, ya :(.
Inilah sebabnya saya kemudian tidak pernah lagi mengkonsumsi kopi luwak. Dengan kondisi bahwa kebanyakan kopi luwak yang beredar itu adalah ternakan, maka itu dihasilkan dari luwak yang telah dikondisikan untuk menjadikan kopi sebagai makanan utamanya. Mungkin saja saya ketemu kopi luwak yang asli, tapi kemungkinannya akan kecil sekali dengan perubahan kondisi alami hutan dll.
So, sehubungan niatan Varyan untuk memperkenalkan kopi luwak ke international market, saya berpikir pasti ada cara lain yang lebih etis untuk menyebarluaskan kekayaan kopi Nusantara. Ini keinginan mulia untuk memajukan usaha kecil dan menengah kita supaya bisa export tidak hanya di bidang handicraft. Tapi mengingat standard di negara barat cukup tinggi sepertinya hanya sedikit produk lokal yang bisa dieksplor lebih dalam dan luas.
Any way, begitulah pendapat saya soal kopi luwak. Silakan bila mau sependapat atau tidak, bebas aja koq :). Untuk saya, masih jawara adalah Kopi Aroma dari Bandung dan Arabica Toraja. Karena kebiasaan ngopi ini, suatu saat pas sedang ke Amsterdam, saya nyari cafe. Saya tanya punya kopi spesial apa? You know what, dia jawab, "Try our new special: Java Arabica!" Hahaha, saya juga dari pulau Jawa euy :).
I wanna share my view about kopi luwak.
I -my self- actually a coffee aficionado. I have any kind of coffee at my house from all around Indonesia. You name it, from Aceh Gayo -also kopi ganja :)- to kopi Wamena, I have it. Every time I had my trip, I always try & bring local coffee for my souvenir. And whenever some one I know had a trip, I always take coffee for the souvenir. In short, can't live without it, it's my drug :).
Lalu soal kopi luwak. At first, I find it really fancy & gaya banget minum kopi spesial seperti itu. Dulu masih susah dapatnya, belum ramai dijual seperti sekarang. Jadi saya tidak pernah punya pasokan/stock kopi luwak, karena memang langka. Klo dapat kiriman dari kawan itu jarang-jarang karena tergantung pas dapatnya saja.
Ternyata kemudian kopi luwak jadi trend banget. Tiba-tiba jadi bertebaran kedai yang menyediakan kopi luwak. Rata-rata ditawarkan 8-12 USD per cangkir atau sekitar Rp 80 ribuan (waktu itu kurs masih di angka Rp 9 ribuan). Terakhir saya pernah cek di Kafe Toraja Pasaraya Grande tuh secangkir kopi luwak di jual seharga Rp 300 ribuan. Wah, ini sih menurut saya udah keterlaluan mahalnya.
Saya jadi penasaran bagaimana bisa kopi luwak yang dulu eksklusif koq sekarang jadi gampang banget. Awalnya saya senang karena jadi gampang didapat. Saya jadi banyak cari tahu. Jadi, kopi luwak sekarang yang berkembang di pasaran iu ada 2 jenis, alami dan ternak. Yang paling banyak adalah yang diternakkan.
Pasti Varyan sudah tahu bahwa distinctive flavor yang dihasilkan oleh kopi luwak adalah dari proses biji kopi yang bereksi dengan enzim pencernaan luwak. Pada awalnya, luwak yang makan kopi ini adalah hanya semacam dessert saja buat mereka. Jadi, luwak itu bukan makanan utama. Habitat asli luwak itu adalah di Sumatera. Seiring dengan berkurangnya hutan, maka ada pergeseran di mana luwak tak lagi memakan kopi sebagai makanan penutup/pemanis dari makanan utamanya. Dengan berubahnya habitat alami mereka, makanan utama mereka jadi berubah dari segi jenis & jumlahnya. Makanan utama berkurang, jadi makanannya jadi ngasal, kadang kala mereka pun jadi banyak makan kopi. Ini yang menyebabkan pasokan kopi luwak alami itu tidak bisa diprediksikan.
Karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka kemudian dikembangbiakkanlah luwak ini. Pada beberapa produsen kopi luwak, saya memperoleh informasi bahwa mereka menangkarkan luwak di peternakan. Jadi, yang tadinya kopi adalah makan penutup atau makanan selingan, luwak dikondisikan untuk menjadikan kopi sebagai makanan utama. Nah, saya membayangkan jika hal tersebut terjadi pada kita. Misalnya kita yang biasa makan nasi/kentang plus daging dengan agar-agar sebagai dessert, tiba-tiba harus menerima kondisi bahwa kita makan agar-agar all the time dengan alasan ada yang mengambil keuntungan ekonomis dari diri kita. Atau jangan terapkan ini pada manusia, coba terapkan ini ke sesama hewan. Saya melihatnya ini seperti mink coat, kemewahan mantel bulu yang dinikmati manusia dengan mengorbankan hewan. Duh, koq saya gak tega, ya :(.
Inilah sebabnya saya kemudian tidak pernah lagi mengkonsumsi kopi luwak. Dengan kondisi bahwa kebanyakan kopi luwak yang beredar itu adalah ternakan, maka itu dihasilkan dari luwak yang telah dikondisikan untuk menjadikan kopi sebagai makanan utamanya. Mungkin saja saya ketemu kopi luwak yang asli, tapi kemungkinannya akan kecil sekali dengan perubahan kondisi alami hutan dll.
So, sehubungan niatan Varyan untuk memperkenalkan kopi luwak ke international market, saya berpikir pasti ada cara lain yang lebih etis untuk menyebarluaskan kekayaan kopi Nusantara. Ini keinginan mulia untuk memajukan usaha kecil dan menengah kita supaya bisa export tidak hanya di bidang handicraft. Tapi mengingat standard di negara barat cukup tinggi sepertinya hanya sedikit produk lokal yang bisa dieksplor lebih dalam dan luas.
Any way, begitulah pendapat saya soal kopi luwak. Silakan bila mau sependapat atau tidak, bebas aja koq :). Untuk saya, masih jawara adalah Kopi Aroma dari Bandung dan Arabica Toraja. Karena kebiasaan ngopi ini, suatu saat pas sedang ke Amsterdam, saya nyari cafe. Saya tanya punya kopi spesial apa? You know what, dia jawab, "Try our new special: Java Arabica!" Hahaha, saya juga dari pulau Jawa euy :).
Senin, 02 Mei 2011
Benarkah semua ingin harga murah?
Baru baca berita hari ini: harga emas turun tapi nilai taksir bank naik. Another info di milis (yes, I still have that milis thing :)): Budget travel, Rp 500 ribu Singapore udah all in. Rp 2 juta keliling Thai-Mal-Sing. Wow, saya sulit membayangkan berbekal 2 juta rupiah bisa hidup beberapa hari, bahkan minggu, di negeri orang. What kind of life they're living?
Klaim-nya memang luar biasa: Rp 2 juta untuk keliling 10 hari, 10 kota. Ok, kita pakai logika sederhana. Ini berarti satu kota per hari sudah termasuk perjalanan. Apakah sempat untuk menikmati keunikan dari tiap kota tersebut? Apakah sempat untuk mempelajari budaya dari masyarakatnya? Apakah bisa memaknai kebijaksanaan dari tiap istiadatnya?
Ok, untuk contoh di atas, bisa jadi bias karena saya lebih tertarik wisata alam & budaya Nusantara daripada sekedar gempita tempat judi atau taman ria negeri tetangga. Mungkin banyak yang seiman dengan saya soal ini, sebaliknya pula mungkin tak terlalu banyak manusia Indonesia yang terlibat ketika berbicara soal wisata manca.
Ambil contoh lain, telekomunikasi. Berdasarkan data yang saya baca, akhir 2010 menunjukkan bahwa kepemilikan hand phone di Indonesia adalah 50%. Yup, hampir seperdelapan milyar orang Indonesia punya hand phone (hitung sendiri deh tuh!). Artinya, soal telekomunikasi adalah hajat hidup orang banyak. Last time I checked, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diatur penyelenggaraannya oleh negara. Ini artinya tidak sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.
Teringat 10 tahun lalu ketika memutuskan hijrah ke Jakarta. Waktu itu telepon seluler lintas daerah masih roaming. Yup, saya yang terdaftar di Bandung harus dikenakan biaya cuma untuk terima telepon di Jakarta. Atas pertimbangan bahwa aktivitas akan terpusat di Jakarta, maka konsekuensi logisnya adalah saya membeli nomor baru yang cocok untuk Jakarta. Pilihan jatuh pada nomor keluaran operator itu. Mahal, tapi kualitasnya ok banget. Bening. Klaim itu sesuai dengan kualitas layanan yang saya nikmati saat itu.
Lantas terjadilah pertempuran seru di dunia telco Indonesia. Saling murah-murahan yang katanya memberikan keuntungan bagi konsumen. Menelepon bahkan bisa gratis untuk nomor di operator yang sama, bahkan di saat-saat tertentu, nelpon tengah malam sampe kuping pengang tak dikenakan biaya sedikit pun.
Saat itu saya ingat bahwa saya harus menelepon pada pukul 1 dini hari. Tentu saja ini urusan darurat karena tak akan saya menelepon orang tua saya di waktu seperti ini bila dalam keadaan normal. Yang kemudian terjadi adalah luar biasa sulit tersambung karena traffic saat itu sedang penuh akibat program nelpon gratisan operator itu. Keparat!
Kejengkelan ini ternyata tak kunjung reda hingga sekarang. Saat ini, bukan hal yang aneh jika saya tak bisa mengubungi dan dihubungi di ponsel saya. Signal error, jaringan rusak, atau entahlah istilah apa pun yang digunakan. Memang biaya telepon selular saat ini relatif sangat murah dibandingkan beberapa tahun lalu. Soal kualitas? Saya harus mengatakan bahwa meski mahal, saya lebih puas ketika operator saya ini masih campaign dengan keyword "Bening".
Lantas apakah makna murah itu sebenarnya? Apa makna telekomunikasi itu sesungguhnya? Apa makna wisata itu seutuhnya? Sulit ditemukan pada era serba murah seperti sekarang.
Atas manfaat yang telah dirasakan oleh banyak orang (= konsumen yang makin banyak), saya tak menentangnya. Toh ini adalah bisnis semata-mata.
Ok, saya bukan orang kaya. Beli rumah aja ngutang koq :). Namun jangan lupa, tak semua konsumen peduli semata-mata harga. Ada kelompok tertentu yang dapat berkompromi dengan harga yang lebih tinggi selama sepadan dengan kualitas yang dinikmati.
To government, due to The Constitution, even the amended version, you still need to take care seriously on what's concerning people's interest. To capitalist, you still have another market to serve prior to quality.
Please do manage our expectation.
Klaim-nya memang luar biasa: Rp 2 juta untuk keliling 10 hari, 10 kota. Ok, kita pakai logika sederhana. Ini berarti satu kota per hari sudah termasuk perjalanan. Apakah sempat untuk menikmati keunikan dari tiap kota tersebut? Apakah sempat untuk mempelajari budaya dari masyarakatnya? Apakah bisa memaknai kebijaksanaan dari tiap istiadatnya?
Ok, untuk contoh di atas, bisa jadi bias karena saya lebih tertarik wisata alam & budaya Nusantara daripada sekedar gempita tempat judi atau taman ria negeri tetangga. Mungkin banyak yang seiman dengan saya soal ini, sebaliknya pula mungkin tak terlalu banyak manusia Indonesia yang terlibat ketika berbicara soal wisata manca.
Ambil contoh lain, telekomunikasi. Berdasarkan data yang saya baca, akhir 2010 menunjukkan bahwa kepemilikan hand phone di Indonesia adalah 50%. Yup, hampir seperdelapan milyar orang Indonesia punya hand phone (hitung sendiri deh tuh!). Artinya, soal telekomunikasi adalah hajat hidup orang banyak. Last time I checked, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diatur penyelenggaraannya oleh negara. Ini artinya tidak sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.
Teringat 10 tahun lalu ketika memutuskan hijrah ke Jakarta. Waktu itu telepon seluler lintas daerah masih roaming. Yup, saya yang terdaftar di Bandung harus dikenakan biaya cuma untuk terima telepon di Jakarta. Atas pertimbangan bahwa aktivitas akan terpusat di Jakarta, maka konsekuensi logisnya adalah saya membeli nomor baru yang cocok untuk Jakarta. Pilihan jatuh pada nomor keluaran operator itu. Mahal, tapi kualitasnya ok banget. Bening. Klaim itu sesuai dengan kualitas layanan yang saya nikmati saat itu.
Lantas terjadilah pertempuran seru di dunia telco Indonesia. Saling murah-murahan yang katanya memberikan keuntungan bagi konsumen. Menelepon bahkan bisa gratis untuk nomor di operator yang sama, bahkan di saat-saat tertentu, nelpon tengah malam sampe kuping pengang tak dikenakan biaya sedikit pun.
Saat itu saya ingat bahwa saya harus menelepon pada pukul 1 dini hari. Tentu saja ini urusan darurat karena tak akan saya menelepon orang tua saya di waktu seperti ini bila dalam keadaan normal. Yang kemudian terjadi adalah luar biasa sulit tersambung karena traffic saat itu sedang penuh akibat program nelpon gratisan operator itu. Keparat!
Kejengkelan ini ternyata tak kunjung reda hingga sekarang. Saat ini, bukan hal yang aneh jika saya tak bisa mengubungi dan dihubungi di ponsel saya. Signal error, jaringan rusak, atau entahlah istilah apa pun yang digunakan. Memang biaya telepon selular saat ini relatif sangat murah dibandingkan beberapa tahun lalu. Soal kualitas? Saya harus mengatakan bahwa meski mahal, saya lebih puas ketika operator saya ini masih campaign dengan keyword "Bening".
Lantas apakah makna murah itu sebenarnya? Apa makna telekomunikasi itu sesungguhnya? Apa makna wisata itu seutuhnya? Sulit ditemukan pada era serba murah seperti sekarang.
Atas manfaat yang telah dirasakan oleh banyak orang (= konsumen yang makin banyak), saya tak menentangnya. Toh ini adalah bisnis semata-mata.
Ok, saya bukan orang kaya. Beli rumah aja ngutang koq :). Namun jangan lupa, tak semua konsumen peduli semata-mata harga. Ada kelompok tertentu yang dapat berkompromi dengan harga yang lebih tinggi selama sepadan dengan kualitas yang dinikmati.
To government, due to The Constitution, even the amended version, you still need to take care seriously on what's concerning people's interest. To capitalist, you still have another market to serve prior to quality.
Please do manage our expectation.
Senin, 25 April 2011
Sepasang kaki dan puluhan pasang sepatu
Urusan sepatu pernah jadi nazar tahun baru saya tahun lalu. Dan terpenuhi selama tahun 2010 ini. Well, meski sekarang 2011 sudah lewat 4 bulan, tapi tetap ada hikmahnya mengingat kembali soal nazar ini.
Sebenarnya, nazar - atau yang belakangan tahun ini dikenal juga sebagai resolusi tahun baru - saya ini sederhana saja. Begitu waktu menapaki Januari 2010, saya berjanji untuk tidak membeli sepatu kecuali karena sehubungan dengan Lebaran yang memang merupakan momen istimewa. Untuk banyak orang, ini hal yang picisan. Tapi untuk wanita, saya berani bertaruh bahwa ini punya tantangan sendiri yang luar biasa.
Bukan tanpa alasan bahwa sepatu merupakan salah satu obsesi wanita. Dari mulai yang dipakai sehari-hari sampai yang urusan pesta. Yang sehari-hari pun ada yang dipakai di hari kerja dan ada yang dipakai di weekend. Yang untuk pesta, ada yang untuk pesta resmi dengan padanan adi busana, ada juga yang untuk pesta santai di kebun bersama kerabat. Itu baru soal occasion. Belum lagi soal warna.
So, if I had to admit, before 2010, saya punya sepatu hampir 40 pasang. Memang belum sekelas Imelda Marcos, tapi yup, 40! Kapan saya beli? Kebanyakan saya tak ingat karena urusan sepatu yang spesial ini jadi tidak terlalu istimewa karena menjadi terlalu biasa. Dari 40 pasang ini, berapa yang saya pakai? Ternyata tidak lebih dari 7 pasang saja. Eh, ternyata itu pun cukup untuk ganti setiap hari 'kan?
Urusan sepatu ini membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa musuh terbesar yang harus dihadapi adalah hawa nafsu kita sendiri. Ya, nafsu yang membuat saya terbutakan bahwa seandainya saya lebih bisa menahan diri sejak dulu, uang yang saya hamburkan untuk sepatu itu bisa untuk membantu saudara kita.
Hasilnya? Selama 2010 hanya beli 4 pasang sepatu saja. Total yang tersisa di rumah pun tak lebih dari 10 pasang karena sepatu yang jarang saya pakai namun masih layak, saya sumbangkan kepada mereka yang lebih membutuhkannya. Sepatu yang saya beli pun jadi lebih berkualitas karena 2 pasang dibeli saat lebaran, sepatu & sendal, dan 2 pasang lagi beli di Eropa. Yang beli waktu lebaran, sebenarnya niat beli 1 pasang saja. Tapi sendal yang saya pake koq ya copot pas lagi jalan di mall. Lha, copot koq milih tempat? Not bad lah :).
Untuk yang berkecimpung pada bidang pemasaran dengan target wanita, musti lebih cerdik untuk kelompok wanita seperti saya. Bukan apa-apa, I'm not too feminin. Even my Brain Wiring Test is scored 70, way below what-so-called normal level of 180.
So, urusan puasa sepatu ini bukan hanya masalah mengirit pos belanja. Namun lebih dari itu, pengendalian diri. Toh, gak punya sepatu pink gak sampe mati kan ;)
Sebenarnya, nazar - atau yang belakangan tahun ini dikenal juga sebagai resolusi tahun baru - saya ini sederhana saja. Begitu waktu menapaki Januari 2010, saya berjanji untuk tidak membeli sepatu kecuali karena sehubungan dengan Lebaran yang memang merupakan momen istimewa. Untuk banyak orang, ini hal yang picisan. Tapi untuk wanita, saya berani bertaruh bahwa ini punya tantangan sendiri yang luar biasa.
Bukan tanpa alasan bahwa sepatu merupakan salah satu obsesi wanita. Dari mulai yang dipakai sehari-hari sampai yang urusan pesta. Yang sehari-hari pun ada yang dipakai di hari kerja dan ada yang dipakai di weekend. Yang untuk pesta, ada yang untuk pesta resmi dengan padanan adi busana, ada juga yang untuk pesta santai di kebun bersama kerabat. Itu baru soal occasion. Belum lagi soal warna.
So, if I had to admit, before 2010, saya punya sepatu hampir 40 pasang. Memang belum sekelas Imelda Marcos, tapi yup, 40! Kapan saya beli? Kebanyakan saya tak ingat karena urusan sepatu yang spesial ini jadi tidak terlalu istimewa karena menjadi terlalu biasa. Dari 40 pasang ini, berapa yang saya pakai? Ternyata tidak lebih dari 7 pasang saja. Eh, ternyata itu pun cukup untuk ganti setiap hari 'kan?
Urusan sepatu ini membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa musuh terbesar yang harus dihadapi adalah hawa nafsu kita sendiri. Ya, nafsu yang membuat saya terbutakan bahwa seandainya saya lebih bisa menahan diri sejak dulu, uang yang saya hamburkan untuk sepatu itu bisa untuk membantu saudara kita.
Hasilnya? Selama 2010 hanya beli 4 pasang sepatu saja. Total yang tersisa di rumah pun tak lebih dari 10 pasang karena sepatu yang jarang saya pakai namun masih layak, saya sumbangkan kepada mereka yang lebih membutuhkannya. Sepatu yang saya beli pun jadi lebih berkualitas karena 2 pasang dibeli saat lebaran, sepatu & sendal, dan 2 pasang lagi beli di Eropa. Yang beli waktu lebaran, sebenarnya niat beli 1 pasang saja. Tapi sendal yang saya pake koq ya copot pas lagi jalan di mall. Lha, copot koq milih tempat? Not bad lah :).
Untuk yang berkecimpung pada bidang pemasaran dengan target wanita, musti lebih cerdik untuk kelompok wanita seperti saya. Bukan apa-apa, I'm not too feminin. Even my Brain Wiring Test is scored 70, way below what-so-called normal level of 180.
So, urusan puasa sepatu ini bukan hanya masalah mengirit pos belanja. Namun lebih dari itu, pengendalian diri. Toh, gak punya sepatu pink gak sampe mati kan ;)
Langganan:
Postingan (Atom)