Senin, 02 Mei 2011

Benarkah semua ingin harga murah?

Baru baca berita hari ini: harga emas turun tapi nilai taksir bank naik. Another info di milis (yes, I still have that milis thing :)): Budget travel, Rp 500 ribu Singapore udah all in. Rp 2 juta keliling Thai-Mal-Sing. Wow, saya sulit membayangkan berbekal 2 juta rupiah bisa hidup beberapa hari, bahkan minggu, di negeri orang. What kind of life they're living?

Klaim-nya memang luar biasa: Rp 2 juta untuk keliling 10 hari, 10 kota. Ok, kita pakai logika sederhana. Ini berarti satu kota per hari sudah termasuk perjalanan. Apakah sempat untuk menikmati keunikan dari tiap kota tersebut? Apakah sempat untuk mempelajari budaya dari masyarakatnya? Apakah bisa memaknai kebijaksanaan dari tiap istiadatnya?

Ok, untuk contoh di atas, bisa jadi bias karena saya lebih tertarik wisata alam & budaya Nusantara daripada sekedar gempita tempat judi atau taman ria negeri tetangga. Mungkin banyak yang seiman dengan saya soal ini, sebaliknya pula mungkin tak terlalu banyak manusia Indonesia yang terlibat ketika berbicara soal wisata manca.

Ambil contoh lain, telekomunikasi. Berdasarkan data yang saya baca, akhir 2010 menunjukkan bahwa kepemilikan hand phone di Indonesia adalah 50%. Yup, hampir seperdelapan milyar orang Indonesia punya hand phone (hitung sendiri deh tuh!). Artinya, soal telekomunikasi adalah hajat hidup orang banyak. Last time I checked, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diatur penyelenggaraannya oleh negara. Ini artinya tidak sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.

Teringat 10 tahun lalu ketika memutuskan hijrah ke Jakarta. Waktu itu telepon seluler lintas daerah masih roaming. Yup, saya yang terdaftar di Bandung harus dikenakan biaya cuma untuk terima telepon di Jakarta. Atas pertimbangan bahwa aktivitas akan terpusat di Jakarta, maka konsekuensi logisnya adalah saya membeli nomor baru yang cocok untuk Jakarta. Pilihan jatuh pada nomor keluaran operator itu. Mahal, tapi kualitasnya ok banget. Bening. Klaim itu sesuai dengan kualitas layanan yang saya nikmati saat itu.

Lantas terjadilah pertempuran seru di dunia telco Indonesia. Saling murah-murahan yang katanya memberikan keuntungan bagi konsumen. Menelepon bahkan bisa gratis untuk nomor di operator yang sama, bahkan di saat-saat tertentu, nelpon tengah malam sampe kuping pengang tak dikenakan biaya sedikit pun.

Saat itu saya ingat bahwa saya harus menelepon pada pukul 1 dini hari. Tentu saja ini urusan darurat karena tak akan saya menelepon orang tua saya di waktu seperti ini bila dalam keadaan normal. Yang kemudian terjadi adalah luar biasa sulit tersambung karena traffic saat itu sedang penuh akibat program nelpon gratisan operator itu. Keparat!

Kejengkelan ini ternyata tak kunjung reda hingga sekarang. Saat ini, bukan hal yang aneh jika saya tak bisa mengubungi dan dihubungi di ponsel saya. Signal error, jaringan rusak, atau entahlah istilah apa pun yang digunakan. Memang biaya telepon selular saat ini relatif sangat murah dibandingkan beberapa tahun lalu. Soal kualitas? Saya harus mengatakan bahwa meski mahal, saya lebih puas ketika operator saya ini masih campaign dengan keyword "Bening".

Lantas apakah makna murah itu sebenarnya? Apa makna telekomunikasi itu sesungguhnya? Apa makna wisata itu seutuhnya? Sulit ditemukan pada era serba murah seperti sekarang.

Atas manfaat yang telah dirasakan oleh banyak orang (= konsumen yang makin banyak), saya tak menentangnya. Toh ini adalah bisnis semata-mata.

Ok, saya bukan orang kaya. Beli rumah aja ngutang koq :). Namun jangan lupa, tak semua konsumen peduli semata-mata harga. Ada kelompok tertentu yang dapat berkompromi dengan harga yang lebih tinggi selama sepadan dengan kualitas yang dinikmati.

To government, due to The Constitution, even the amended version, you still need to take care seriously on what's concerning people's interest. To capitalist, you still have another market to serve prior to quality.

Please do manage our expectation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar