Senin, 07 Maret 2011

Yang penting Anak Saya

Tulisan lama dari tahun 2006.

Yang Penting sih, Anak Saya

Saya terhenyak membaca tulisan Citra Satrya di Koran Sindo 30/8/06. Soal nonton film yang seharusnya jadi acara penghiburan (entertainment) koq malah jadi sesuatu yang menyeramkan. Pedofilia seolah seperti penyakit flu yang siap menyerang siapa saja di mana saja. Hih, takut!
Saya jadi berangan-angan jika saya punya anak. Saya akan persilakan anak saya untuk menikmati hidup dan dirinya sebagai manusia yang utuh.
Setiap anak memiliki takdir dan garis hidupnya sendiri. Lha, wong anak-anak lahir pun caranya berbeda. Ada yang lahir secara apa adanya, ada pula yang lahir ada apanya. Maksudnya, ada yang lahir normal, ada yang lahir terlalu cepat, atau bahkan ada yang lahir terlalu lama. Ada yang lahir dengan budget bersahabat, ada pula yang lahir dengan budget biadab. Menurut cerita ibu saya, saya adalah anak yang terlahir secara tidak sabaran. Seharusnya saya bersedia menahan diri untuk melihat dunia sampai becak yang ditumpangi ibu saya saat itu tiba di rumah sakit. Tapi, apa daya. Dasar tidak sabaran, saya malah memberanikan diri untuk lahir ke dunia dalam keadaan on the way ke rumah sakit.
Sebagai seorang ibu, apa pun akan dilakukan untuk kebahagiaan anaknya. Termasuk ketika saya memilih untuk meninggalkan nyamannya rumah dan memulai hidup sebagai seorang perantau. Saya kemudian jadi anak yang pada bulan-bulan awal perantauan masih minta tambahan uang pada ibu saya untuk sekedar menambah uang kos. Saya kemudian memilih untuk nekad menjadi apa yang saya sebut sebagai ‘budak kapitalis’.
Kalau saya suatu saat jadi ibu, saya akan memilih untuk sehebat ibu saya dalam merelakan anaknya ingin jadi apa. Jika nanti anak saya memilih untuk menjadi budak kapitalis juga seperti saya, silakan. Atau jika anak saya memilih untuk jadi pendidik seperti Pak Johannes Surya, ya silakan juga.

Pemain Film
Nah, jika suatu saat saya punya anak dan dia memilih menjadi pemain fillm seperti Rachel Amanda, ya nggak apa-apa juga. Menghadiri undangan Bang Jerry (Jeremias Nyangoen) menengok shooting “I Love You, Om” di Rumah Susun Benhil beberapa bulan lalu, saya terpesona oleh penampilan Amanda. Menggemaskan. Kalau kata anak muda sekarang, lucu banget. Amanda tidak canggung berhadapan dengan Ira Wibowo. Justru dia canggung ketika berhadapan dengan Restu Sinaga. Canggung dalam arti sebenar-benarnya canggung anak ABG menghadapi seorang om ganteng dan memesona. Saya jadi merefleksikan pada diri sendiri bagaimana jika saya menghadapi om seganteng dan sememesona itu. Pasti saya secanggung Amanda juga. Luar biasa Amanda! Dia mampu menerjemahkan kegalauan saya.
Lalu saya berpikir kalau saya yang menjadi pemain film seperti Amanda. Bisakah saya sebaik dia? Dalam tataran peran, ada tiga tahapan yang membedakan kualitas peran seseorang. Ketiga tahap itu adalah pretending, acting, dan being.
Ketiga tahap ini sebenarnya sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bermaksud menyinggung siapa pun, seorang budak kapitalis dengan penghasilan seadanya seperti saya dan Anda sering kali pretending to be the have. Buktinya adalah membeli sepasang sepatu bermerek terkenal dengan pertolongan kartu kredit. Atau, tiba-tiba saja saya bisa terlihat sangat serius bekerja di depan monitor padahal permainan seru lah yang sedang saya tekuni. Hahaha, saya bisanya cuma pretending.
Lain dengan Al Pacino. He has reached the stage of being. Saking hebatnya dia, bukan hanya saya, banyak orang hapal beberapa cuplikan dialog dalam The Godfather. Kalau anak saya nanti ingin jadi seperti Al Pacino, ya nggak apa-apa juga.


Film, lahan, dan iklimnya
Al Pacino bisa menjadi seperti itu dengan berbagai kemudahan yang dinikmatinya. Ibarat sebutir benih unggulan, Al Pacino tumbuh di atas tanah yang subur, berair cukup, sinar matahari tidak kurang, dan petani telaten yang merawatnya. Sebagai seorang pelaku, Al Pacino bermain dalam film yang diproduksi oleh Holywood yang kemudian menjadi komoditi yang laku dijual dalam sebuah mega industri ke seluruh dunia. Film Amerika menjadi raja di negerinya dan dengan mudahnya diterima pula di negeri lain.
Film Indonesia? Waduh, hanya ingin sekedar ditonton saja sudah memerlukan perjuangan yang luar biasa. Penghasil film Indonesia itu banyak, tapi jalur distribusinya sedikit. Sebagai sebuah industri, logikanya jika produsen banyak, maka ada berbagai pilihan distribusi hingga produk tersebut sampai di tangan konsumen. Yang saya tak habis pikir adalah mengapa peredaran film Indonesia koq jalur distribusinya terbatas, ya?
Jika nanti anak saya ingin jadi distributor film, saya akan dengan senang hati mempersilakannya. Nonton film itu ’kan nikmat. Jadi, jika anak saya jadi distributor film yang sukses, maka anak saya akan memiliki andil dalam menebar kenikmatan pada masyarakat lainnya.
Nah, kalau tiba-tiba anak saya ingin jadi birokrat, saya agak bingung. Saya terlampau optimis dengan pemerintah Indonesia saat ini sehingga jadinya saya sering kali harus menurunkan tingkat harapan saya itu. Contohnya, ya soal distribusi film itu tadi. Menurut logika saya yang sederhana, pemerintah adalah kelompok konsumen yang dapat menjadi sasaran pasar alias penikmat film. Dengan demikian, sepatutnya ada jalur distribusi khusus yang menyentuh target market ini. Tapi melihat gelagatnya sekarang, jangan-jangan pemerintah kita belum pernah menonton film Indonesia.
Kembali lagi pada persoalan anak saya, rupanya saya harus konsisten dengan kebijakan saya bahwa saya akan mempersilakan dia menjadi apa yang dia inginkan. Termasuk jika dia ingin jadi birokrat. Saya akan berdoa agar dia menjadi birokrat yang punya hobi menonton film Indonesia. Langkah pertama yang akan saya lakukan adalah saya akan mengajak anak saya menonton film “I Love You, Om” supaya dia belajar mengenai kepiawaian Ira Wibowo, Restu Sinaga, dan tentu saja Rachel Amanda. Jadi, jika suatu saat anak saya canggung menghadapi seorang om ganteng dan memesona dalam kehidupannya, ya biarkan saja. Canggung itu mengahadapi sesuatu di luar kuasa diri itu wajar. Yang tidak wajar adalah yang seharusnya mampu mengendalikan distribusi film di Indonesia namun malah tidak pernah nonton film Indonesia.
Saya tidak bermaksud mengusik kehidupan atau anak siapa pun. Jadi, jangan ada yang tersinggung, ya. Yang penting untuk saya adalah anak saya. Saya akan persilakan dia menjadi apa pun yang dia kehendaki, termasuk bila dia harus jatuh cinta pada seorang om, asalkan om itu minimum sekelas Restu Sinaga. Kalau kata Al Pacino, ”I make you an offer you can not resist”.

*** Ike Noorhayati Hamdan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar